Riausastra.com – Miranti masih asyik mendengarkan lagu kesukaannya sambil bersandar di kusen jendela. Hujan yang baru saja reda membuatnya ingin berlama-lama di sana. Gadis berusia enam belas tahun itu memang sangat suka dengan bau tanah basah. Lama ia tertegun, seakan teringat akan sesuatu yang bertahun-tahun tidak dijumpainya. Entah berapa kali hujan datang, entah berapa kali juga pelangi muncul. Seolah terasa amat lama tak melihat mereka.
Ya, sejak kecelakaan yang dialaminya bersama sang ayah setahun tahun lalu. Saat ia masih duduk di bangku SMP. Kecelakaan itu telah merenggut penglihatan sekaligus membuatnya menjadi gadis remaja yang pemurung. Setiap hari, ia menghabiskan waktu dengan berdiam diri di dalam kamar. Hanya sesekali ia keluar dari sana. Itu pun untuk makan, minum dan mandi saja. Sedang ayahnya yang sempat dirawat di ICU, akhirnya menyerah dan kembali ke pangkuan Tuhan.
Ibu pernah mengajak Miranti keluar rumah. Tapi ia selalu menolak. Baginya, kehidupan di luar sangat kejam. Jika ia keluar, itu sama saja dengan membuka luka lama. Apalagi ia tidak bisa melihat. Lalu untuk apa ia melakukan itu? Membuang-buang waktu saja. Lebih baik di dalam rumah. Dengan begitu, tak ada seorang pun yang bisa mengolok-oloknya. Di sela-sela lamunan, tiba-tiba tak terdengar lagi alunan lagu kesukaannya. Seolah ada seseorang yang dengan sengaja menyudahinya. Miranti pun seketika menoleh dan menghampiri radio di atas meja.
“Ibu-kah?” tanya Miranti sambil memastikan pendengarannya.
“Sudah waktunya kau keluar rumah, Mir. Kebetulan ada yang bisa menemanimu. Yah … walaupun cuma jalan-jalan di sekitar rumah.”
“Bukankah Miranti sudah berulang kali mengatakan, Bu. Miranti tidak mau keluar rumah, apalagi jalan-jalan. Kalau mereka melihat Miranti, pasti mereka mengejek Miranti!” kata Miranti sedikit kesal.
“Mir, tidak baik kalau Melati tidak kautemui.”
“Apa, Bu? Melati? Bukankah dia tidak ada di kota ini sejak lulus SMA?”
“Nah, maka dari itu. Temuilah dia. Barang kali, sahabat lamamu itu bisa sedikit membuatmu tersenyum.”
Ibu pun segera mengajak Miranti hingga di ruang tamu untuk menemui Melati. Melati adalah sahabat Miranti saat duduk di bangku SMP. Keduanya selalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Soal kepandaian, mereka bersaing satu sama lain. Terkadang Miranti yang menduduki peringkat satu, terkadang justru sebaliknya. Melati-lah yang mendudukinya.
Meski begitu, mereka tak pernah saling iri. Mereka adalah sepasang sahabat yang mampu menghargai satu sama lain. Sebab itulah, persahabatan mereka tetap terjalin hingga sekarang. Meski memang, Melati jarang berkirim kabar dengan Miranti. Seperti hari ini, kedatangannya dirahasiakan dari Miranti. Ia sengaja melakukan itu agar menjadi kejutan untuk sahabatnya—Miranti.
“Mel, kapan kamu ke sini? Kok tidak bilang-bilang? Kupikir kau seperti yang lain, menjauh karena kondisiku sekarang seperti ini,” tanya Miranti setelah duduk di samping Melati.
Yang ditanya tak langsung menjawab, Melati refleks memeluk sahabatnya itu dengan penuh rasa rindu. Seketika matanya berkaca-kaca.
“Surprise! Apa kau tidak merindukanku?”
“Pasti, pasti aku sangat merindukanmu, Mel!” jawab Miranti dengan antusias. Matanya tiba-tiba mengembun. Butiran bening hampir keluar dari sana. Namun, tiba-tiba Melati mengejutkannya.
“Nah, ayo kita pergi keluar sebentar!”
“Tapi … aku tidak mau. Untuk apa?”
Tak mau menunggu lagi, akhirnya Melati langsung membawa Miranti pergi setelah berpamitan dengan ibu. Meski Miranti sedikit berontak, tapi ia mau juga. Itu semua demi sahabatnya.
Sesampainya di suatu tempat. Melati dan Miranti duduk di sebuah bangku. Ternyata, Melati membawa Miranti ke tempat favorit mereka. Sebuah tanah lapang yang sangat luas, dengan pemandangan yang sangat indah. Dulu, biasanya sepulang sekolah mereka menghabiskan waktu di sana untuk membaca. Tak lupa, jika sehabis hujan, mereka menunggu siluet pelangi muncul. Benar-benar tempat yang strategis untuk melakukan semua hal itu.
“Mir, kau ingat tempat apa ini?” tanya Melati.
“Memangnya sekarang kita ada di mana, Mel?” Miranti menoleh ke sana kemari.
“Sekarang kita ada di Padang Harapan!”
“Padang Harapan? Ya, Tuhan … sudah lama sekali kita tidak ke sini, ya!” pekik Miranti kegirangan sambil meremas tangan sahabatnya.
“Nah, begitu dong. Akhirnya aku bisa membuatmu tersenyum lagi! Ibumu pasti sangat senang jika melihatmu seperti ini!” ucap Melati dengan mata berbinar.
Dari kejauhan, diam-diam ibu melihat mereka berdua. Air mata tak kuasa meleleh di pipinya.
“Terima kasih, Melati. Kau memang sahabat yang baik untuk Miranti. Kau berhasil menunaikan janji itu padaku. Senyuman manis Miranti, yang telah lama hilang.”
Semarang, September 2021-Januari 2022
Terima kasih sudah memuat cerpen sederhana ini, Redaktur.