sumber foto asli: net

Riausastra.com – Perjalanan ini telah lama aku idam-idamkan. Sederhana saja, dengan naik Red Bus aku dan sekawanan mahasiswa Asia mengelilingi Kota London. Dari bus double-decker raksasa berwarna merah ini, aku bisa melihat jalanan kota dan gedung-gedung klasik legendaris London yang menolak untuk tidak dilihat.

Sebenarnya, ada kereta bawah tanah yang bisa membawa penumpang berkeliling Kota London dalam sekejap. Namun, kereta bawah tanah tidak menawarkan pemandangan. Aku dan kawan-kawan memilih Red Bus ini sebab rute-rute yang dilaluinya pendek dan jalannya lambat. Itulah tujuannya supaya penumpang bisa menikmati pemandangan Kota London yang menawan.

Bus berangkat selalu tepat waktu dari halte menuju ke tempat-tempat wisata. St. Paul Cathedral, London Bridge, Tower Bridge, Big Ben, dan tempat yang sangat ingin aku kunjungi, London Eye. Komedi putar raksasa itu tampak kerdil dari jauh. Membayangkan aku ada di dalamnya mungkin menyenangkan. Roda pengamatan yang kokoh dan angkuh itu berdiri di tepi Sungai Thames, ujung barat Taman Jubilee.

Tingginya ratusan meter. Tiga puluh dua kapsul pengamatan siap membawa penumpang untuk meninggi, menyaksikan Kota London dari atas atmosfir. Biasanya tempat hiburan itu hanya selayang pandang saja di layar kaca televisi. Melihatnya mengundang keinginan untuk mengunjungi. Sekarang, bianglala itu benar-benar ada di hadapanku.

Sebelumnya, aku mati-matian mengejar beasiswa di London. Dua universitas kujajaki dan di Imperial College London aku diterima. Mulanya, tidak ada keinginan untuk mengejar gelar master, tetapi setelah Ibu bilang bahwa aku mempunyai saudara kembar di London, aku buru-buru mencari informasi pekerjaan atau apa pun asal aku bisa pergi ke London. Beasiswalah yang aku dapat. Ibu baru mengatakan itu setelah puluhan tahun. Uniknya, saudara kembarku itu adalah seorang laki-laki. Kami kembar tak identik.

Tepat dua puluh tujuh tahun lalu, Ibu berpisah dengan Ayah entah apa pasalnya. Ayah adalah seorang ilmuwan pengembang varietas tanaman pertanian unggul dari London dan Ibu hanya seorang gadis kampung yang sedikit-sedikit paham ilmu pertanian. Ibu bukan dari lulusan sekolah tinggi, tetapi ia mempunyai kebun yang luas, warisan dari Kakek. Sebab itu barangkali Ayah tertarik meminang Ibu dan mulai melakukan pengembangan penelitiannya di kebun warisan Kakek, meskipun pernikahan itu hanya sebatas kawin kontrak.

Ayah pulang ke London membawa saudaraku ketika kami belum genap berusia satu tahun. Ibu masih mencintai Ayah sebagimana pertemuan hingga pernikahan itu membuahkan dua anak kecil yang lucu-lucu. Sebab cinta tidak terbatas oleh apa pun, termasuk kontrak. Ketika telah banyak orang-orang pribumi yang berpendidikan tinggi, itu artinya Ayah sudah tidak dibutuhkan lagi. Kontrak nikah selesai. Ia pulang. Apakah cintanya masih ada untuk Ibu dan aku? Pertanyaan yang tak mengenal batas kedaluwarsa di benakku.

Pertama tiba di London, aku kelimpungan. Bagaimana cara mencari seseorang yang tidak pernah bertemu sebelumnya? Pula tidak tahu bagaimana ciri-cirinya. Ibu hanya memberi tahu namanya Angelo dan aku Angela, kemudian Ayah, Robert Downey. Ia seorang kakak dan aku adiknya yang selisih lima menitan. Juga selembar poto hitam-putih yang telah usang. Aku dan Kakakku.

Dua puluh tujuh tahun adalah waktu yang terbilang lama untuk seseorang berubah dan cukup untuk melupakan fragmen-fragmen masa lalu. London Eye ini pun belumlah berdiri megah seperti sekarang. Ibu tidak memberiku petunjuk apa pun. Barangkali Ayah sudah tidak ada di Bumi ini dan kembaranku itu telah pindah ke daerah lain. Entah mereka tinggal di mana, di London yang sebelah mana. Namun, jantungku berdegup kacau yang seolah menuntun kakiku untuk berkunjung ke sini, London Eye.

Aku mulai menerka-nerka rupanya. Mungkin ia memiliki mata coklat bening sepertiku, rambut pirang, kaki jenjang, kulit putih, dan tubuh jangkung, serta hidungnya yang seperti paruh kakak tua. Seiring berjalannya waktu, aku mulai sedikit lupa tentang Kakaku itu sebab ada nilai yang harus aku kejar, banyak buku yang harus dibaca, tumpukan tugas dan projek yang harus digarap, dan kegiatan lainnya menutup langkah pencarianku. Namun, toh, kata artikel, saudara kembar punya ikatan batin yang sangat kuat, meskipun tak sekuat kembar identik, aku merasa seolah tak jauh darinya. Bisa jadi Kakak ada di sini.

Liburan kali ini, tiba-tiba aku ngotot untuk datang ke tepi Sungai Thames, menyaksikan perahu-perahu yang membawa para pelancong membelah Kota London melewati London Bridge. Angin memiuh dari sungai jernih itu, membawa uap lembap beraroma sejuk yang bersarang di kulitku. Burung-burung yang aku tak tahu namanya itu meliuk-liuk, menukik di atas langit, terbang ke Tower Bridge, kemudian hilang di antara hamparan gedung pencakar langit dengan struktur bangunan yang rumit.

Kami sempat berbelanja di Canary Wharf, distrik bisnis dan keuangan utama di London. Aku membeli syal rajut berwarna coklat. Udara di luar terasa dingin. Dari jembatan itu, pejalan kaki bisa dengan leluasa melihat aliran air tepat di bawah kaki sebab lantainya terbuat dari kaca. Azan pernah berkumandang di jembatan angkat itu.

Aku merasa sangat kerdil di hadapan London Eye. Bulatan megah yang sangat tinggi memetakan jarak ribuan kilometer dari kampung halaman. Seketika aku teringat Ibu. Kebun sayur, palawija, dan rempah-rempah barangkali sudah berkali-kali dipanen. Hasilnya melebihi batas cukup jika hanya untuk sekadar membeli tiket ke London, tetapi Ibu tidak pernah mau.

Lama kupandang London Eye dan kakiku gemetar ketika temanku mengajak terbang dalam kapsul pengamatan itu. “Join us!” Keringat dingin menjalari kulit. Perasaan takut dan jeri menyerang tiba-tiba. Aku takut ketinggian. Masih kuingat bagaimana tubuhku jatuh dari pohon mangga puluhan tahun yang lalu. Lututku bengkak, napas tersengal, Ibu menangis, dan sejak saat itu, aku tidak mau bertaruh nyawa lagi. Alangkah konyol. Padahal, pesawat sering membawa tubuh ini terbang dengan jarak ribuan meter dari tanah. Namun, kali ini, aku lebih suka menunggu.

Butuh waktu tiga puluh menit untuk kapsul-kapsul itu berputar sempurna tiga ratus enam puluh derajat. Tiket masuknya sekitar tiga ratus ribuan. Aku menyisir orang-orang di sekitar London Eye. Puluhan pasang mata berbinar-binar dan asing. Aku mengambil ponsel dari tas, memotret diriku sendiri yang berlatar bianglala besar dan gedung-gedung yang tampak seperti lukisan mozaik. Lalu, aku mengirimkan gambar itu kepada Ibu. “Ini London Eye yang sering aku ceritakan itu, Bu.”

Kami bercakap-cakap melepas rindu. Liburan kali ini aku tidak pulang. Basa-basi mengalir begitu saja tentang berita di kampung, sepupu yang baru dilamar, aku yang kapan nikah, pembangunan jalan beton menuju rumah, makanan kampung yang kurindukan, dan cuaca yang selalu monoton, kalau tidak panas ya hujan. Sesekali aku tertawa tentang cerita-cerita lucu. Itu semua untuk menutupi kesedihan seorang anak yang rindu Ayah dan saudaranya.

Aku perhatikan sepasang sepatu yang diam seolah sedang menunggu. Kata-kata lepas dan untungnya orang-orang di sini tidak suka ikut campur urusan orang lain. Mereka sibuk mengurus urusan sendiri. Suara Ibu terdengar merdu melebihi suara-suara keramaian yang gaduh, hingga tanpa kusadari seseorang telah memanggilku berkali-kali. “Nona! Nona! ID card-mu jatuh!” Aku berbalik dan buru-buru mengambil ID card dan berkata, “Much obliged!” Aku pinta Ibu untuk menunggu. Kumatikan panggilan.

Ia seorang lelaki, memakai kemeja putih dengan kancing atas yang terbuka. Dadanya menyembul kotak-kotak tampak seperti binaragawan. Lengan yang pejal ditutupi jas hitam khas orang kantoran. Jambang yang jarang, kumis tipis, rambut hitam cepak, dan mata coklat bening, paras yang sangat berkarisma, sex appeal yang menggoda. Aku termangu sesaat. Ia lebih tinggi dariku.

“Kamu baik-baik saja, Nona?” tanyanya kemudian setelah kusadari ternyata aku telah menatapnya lama sekali. British aksennya sangat sempurna. Tutur katanya begitu ramah dan sopan, menandakan ia sangat class conscious. Sebab itulah aku kagum. Menatap mata orang asing adalah hal yang tidak sopan di London. “Sorry, Sir!” “It’s okay,” balasnya.

“It’s a bit cold here, innit?” Aku berusaha menutupi kecanggungan dengan mengalihkan pandangan ke London Eye, kemudian berbalik ke wajahnya dan mengangguk, mengiyakan. “It is.”

Perasaanku menjadi tenang ketika ia tersenyum seolah beban dan resah yang bergunung-gunung telah rata menjadi hamparan taman bunga. Tubuh menghangat, sehangat aliran darah yang cepat dipompa jantungku, kembang-kempis dan kurasakan keringat mengalir di sela leher yang tertutup syal rajut.

Teleponku berdering. Seorang teman mengajak untuk menikmati afternoon tea setelah ini.

“Nice to meet you. I’m Angelo by the way.”

“I’m Angela. Nice to meet you too.”

Kami sama-sama terkejut. Kukatakan itu dengan getar bibir seolah siap kukatakan tentang pencarian saudaraku dengan nama serupa, tetapi apakah sopan membeberkan masalah pribadi kepada orang asing yang baru saja berjumpa? Kusadari lelaki itu memakai outfit yang sama denganku, kemeja putih lengan panjang. Hanya saja kulapisi dengan jaket kulit berwarna krim. Sepatu kami sama-sama berwarna putih.

Sudah tiga puluh menit dan kawan-kawanku turun dari bianglala dengan wajah gembira yang tak dapat disembunyikan. Sejurus kemudian orang-orang keluar-masuk bergantian. Angin Sungai Thames membaurkan aroma tubuh manusia dan menerbangkannya ke kejauhan yang entah. Salah satu kawan menepuk pundakku di saat aku sedang menyaksikan punggung lelaki itu menjauh ditelan keramaian. Hendak kutelepon Ibu ketika aku ingat ia pernah berkata bahwa saudaraku punya tanda lahir di tengkuk lehernya, semacam tompel sebesar buah kopi. Tanda itu ada bersama lelaki itu. Namun, aku urungkan. Betapa banyak bayi yang memiliki tanda lahir sama dan masing-masing orang kata mitos, memiliki tujuh kembaran atau doppelganger di Dunia ini.

Kami menikmati afternoon tea di kafe, tetapi pikiranku melayang jauh ke Sungai Thames, berlayar bersama sampan-sampan di geliat ombak sungai. Dadaku terasa kosong, pertemuan di London Eye, dan rasa kehilangan yang tidak pernah menyisakan tanda tanya sebesar ini. Aku menghitung pengunjung di kafe yang sedang menikmati secangkir teh, sementara di depanku, teh mendingin. Wajah lelaki itu seketika jatuh dalam secangkir teh. Perasaan untuk mencari di antara kerumunan orang-orang membuncah, di mana lelaki tadi, barangkali ia ada di sini, dan berharap kebetulan-kebetulan atau takdir mempertemukan kami lagi.

Tanggamus, 22 Juni 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini