Mula-mula perempuan muda berhidung mancung dan berambut lencang itu mencoba berdandan. Memoleskan bedak ke seluruh wajahnya. Kemudian, menyembulkan mulut dan memperayu bibirnya dengan lipstik merah ranum. Lalu, ia senyum-senyum sendiri dan dipuncaki dengan menciumi sebuah celana dalam amat bergairah. “Kangmas! Kangmas!”
Riausastra.com – Bau reruntuhan embun dari dedaunan mengiringi Pardi menembus kabut. Ini kali ia musti menengok pusara sang dukun di pojokan pekuburan Wadas Malang. Melewati rumah terakhir sebelum nisan-nisan tampak bertengger, ia melihat seorang tua berjalan dengan tongkatnya menuju sumur. Tubuhnya benar-benar bungkuk. Kedua kaki kurusnya hampir menyerupai tulang terbungkus kulit kisut. Tetapi, ia masih sanggup berjalan dan matanya tampak belum begitu tua. Ia masih cukup jelas melihat.
Lelaki berkumis tebal itu tak ramah menghiraukannya. Hanya saja roda jengkinya berputar lebih perlahan. Mungkin takutnya, Ki Jarowi, mantan dukun itu mendadak tak sengaja melintangi jalan. Lantas Pardi bakal tak terkendali dan tak sengaja menubruknya. Kemudian, bermunculan mulut-mulut bau tembakau bercampur makian. Atau ada juga ibu-ibu dapur komat-kamit melisankan istigfar. Dengan tak melafal apa-apa, ia melampauinya, sesekali melirik hingga tak tampak kemudian.
“Kirik! Sableng!” Sesampainya Pardi di samping pusara Kang Hadi.
***
Langit Magrib tumpah mengenai atap-atap cungkup dan rumah-rumah perkampungan. Anak-anak kecut mengendorkan sarung tak lagi berniat cekikikan di musala. Sementara, lelaki dengan julukan Jugil itu tegak di depan pintu jati. Memandangi butir-butir hujan yang sebagian kecil menyerang kepalanya. Suara dadanya terdengar tak cukup tenang. Begitu juga dengan hela napasnya. Megap-megap. Sejam berlalu, hujan masih selaksa pasukan perang, sedang petir menandakan meriam-meriamnya. Pardi tak hendak lagi menunggu. Ia berbelok ke arah dapur mengambil payung yang tergantung di sebelah rak piring.
Usai melewati dua belokan simpang tiga dan satu belokan simpang empat, ia sampai di kediaman Pak Tohar, ketua RT setempat. Ketukan tangan dan suara lantang mulutnya mencoba mengalahkan suara petir dan serbuan peluru air dari langit. Dalam hitungan detik ke empat puluh, ia berhasil menemui Pak Tohar.
“Begini, Pak. Saya cukup heran dengan perilaku orang-orang sinting itu. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati mereka usik kuburannya.”
“Memang siapa yang sedang kaubicarakan, Di? Tenanglah dulu.”
“Kuburan Kang Hadi kembali diacak-acak, Pak Tohar yang saya hormati. Sepertinya, Bapak salah mengira jika kejadian lima hari yang lalu merupakan perbuatan binatang. Apalagi, kejadian tadi pagi yang saya jumpai jelas-jelas ulah manusia.”
“Buktinya?”
“Nisan itu hilang, Pak. Hilang! Bagaimana mungkin binatang mencuri nisan. Untuk apa? Dan sekarang, saya musti cepat-cepat mengganti nisan itu sebelum Mirah tahu.”
“Sepertinya itu memang ulah manusia yang sedang punya maksud. Baiklah, coba kita bicarakan dengan beberapa warga besok pagi.”
Kang Hadi selama tiga dasawarsa dikenal sebagai dukun dermawan yang tidak pernah ngarani masalah amplop. Sebagian menganggapnya tabib penolong. Orang-orang di kampungnya tidaklah meragukan keazmatannya dalam membinasakan beragam penyakit kiriman. Orang-orang dari luar kampung juga acap bertandang untuk berbagai ihwal. Dengar-dengar, sudah bermacam kalangan yang meminta pertolongan, semacam minta jimat penglaris dagangan, dipercepat jodohnya, atau minta dilantarkan supaya dapat menaruh sesajen dan memohon kepada penghuni makam keramat kalau-kalau sang kunci makam sedang sakit-sakitan sebab usianya yang semakin sepuh, tubuhnya berangsur lumpuh. Dan, jarang sekali ada yang kembali dengan kepala bersungut-sungut.
Sebenarnya, lelaki bergelar dukun sekaligus tabib itu merupakan calon kuat pengganti Mbah Rajiwo, kunci makam Mbah Urang, si pangeran sakti dari Kesultanan Mataram itu lho, yang saat ini semakin ramai tetamunya. Ujar Ni Munah, istri Mbah Rajiwo, bulan kemarin saja ada empat keluarga yang melangsungkan upacara selamatan di balai bercungkup dekat makam sebagai tanda matursuwun. Ia bersama suami dan keluarga Kang Hadi juga kerap ikut menyantap umbo rampe yang orang-orang itu siapkan lebih dari ala kadarnya. Nah, itu pertanda lancar urusannya. Urusan apa? Nyambut gawe, munggah jabatan, pilihan kaur, lurah, nganti bupati, karo lia-liane, begitulah istilah ngapaknya.
Tetapi, sudah hampir satu bulan semenjak kejadian itu, Kang Hadi hanya tinggal sebatas nama dan menjadi buah bibir sana-sini. Orang-orang mengaku begitu kehilangan atas kematiannya. Dua minggu yang lalu, sekiranya tiga keluarga dari asal cukup jauh berkunjung secara hampir bersamaan dengan setidaknya tiap satu kepala dewasa memegang keranjang bingkisan. Usai masuk dan menyimak singkat cerita, sekejap mereka terkejut dan dua ibu-ibu bongsor kedua matanya sedikit berpeluh.
“Bagaimana bisa Kang Hadi tiba-tiba meninggal, Mbak?” Tanya seorang ibu-ibu bongsor bergiwang kinclong.
“Entahlah, Bu. Kami dan orang-orang kampung sini pun masih penasaran mengapa secara tiba-tiba Kang Hadi meninggal. Padahal, sebelumnya ia tak pernah mempunyai riwayat penyakit keras. Kata orang-orang, ia mungkin mendapat kiriman dari seseorang.”
“Saya pribadi sungguh menyesal telah menunda-nunda untuk kemari. Padahal, berkat suamimu, keluarga kami kembali hidup,”ungkap seorang laki-laki jangkung.
“Tidak apa-apa, Pak. Kami sungguh berterima kasih kepada Bapak dan Ibu semua yang telah repot-repot datang kemari.”
Tak lama usai berbincang-bincang, mereka bertolak ke pasar desa membeli kantil, kemudian berziarah bersama istri sang dukun. Mengucap terima kasih, mendoakan secara hening, dan menebar kantil-kantil itu secara merata di permukaan pusara. Semenjak itu pula, banyak keluarga yang menjenguk makamnya sekaligus menyelipkan santunan kepada Mbak Mirah dan anak-anaknya. Bahkan tidak hanya sekali.
***
Di seperempat perjalanan matahari, beberapa warga mulai berdatangan melewati pintu kediaman Pak Tohar. Sementara, Pardi sudah duduk klepas-klepus sejak sejam yang lalu. Saat sikap bersila sudah tampak, Pak RT mulai mengajak mereka masuk dalam maksud, dilanjutkan berlabun-labun dengan cukup serius.
“Kang! Kang! Kang! Mari ke kuburan!”
Di tengah-tengah suasana rembuk, tiba-tiba terdengar suara cukup lantang dari pelataran rumah. Tampaklah seorang lelaki kerempeng cukup ngos-ngosan seperti usai menyaksikan sesuatu yang tidak biasa. Sekejap hal itu mengagetkan orang-orang di ruang tamu sampai kemudian sebagian orang berdiri dan berangsur ke luar.
“Heh, Gus, memangnya ada apa?!” Pardi mendahului orang-orang.
“Itu, Kang….,aku melihat nisan di kuburan Kang Hadi menjadi aneh dan tak pantas.”
“Aneh bagaimana? Jangan mengada-ada!” Tanya Pardi kembali.
“Aku menyaksikan sendiri, Kang. Nisan itu bertuliskan kalimat-kalimat yang sangat tidak pantas untuk orang sebaik Kang Dukun. Kira-kira begini, “Dukun Cabul, Dukun Laknat, Dukun Jahanam”, dan selebihnya aku tak mengingatnya. Kalau tidak percaya, silakan ke sana.”
Hampir semua orang yang mendengar itu bergegas menuju pekuburan Wadas Malang, kecuali Pardi. Ia justru kemudian duduk di sebuah lincak dekat pintu. Ia tampak keheranan dengan kejadian akhir-akhir ini. Ia terus saja bertanya-tanya. Siapa yang melakukannya? Ada maksud apa di balik kekacauan ini?
“Sungguh ini bakal membuat kesedihan bagi Mirah. Seandainya saja semalam tak hujan lebat, aku pasti bakal mencekik orang sinting itu!” Ungkapnya dalam benak.
Kini lelaki berjulukan Jugil itu memutuskan untuk menyusul orang-orang untuk memastikan kebenarannya. Namun, ketika melewati rumah terakhir sebelum pekuburan, ia dihentikan oleh seorang tua dengan tangan memegang tongkat kayu sengon.
“Mungkin ini semua ada hubungannya dengan gadis itu. Seorang perempuan berambut keriting, berhidung pesek, yang saya lihat dari balik jendela waktu itu, mungkin sekitar pukul satu dini hari, di jalan ini. Matanya tampak kosong seperti diguna-guna. Dan, dan ia berjalan sendirian. Tampaknya tak ada orang yang tahu sebab tak satu pun mengikutinya. Ketika saya sapa, ia tak berkata apa-apa.”
“Kira-kira siapa gadis itu, Ki? Dan, bagaimana ia bisa berhubungan dengan Kakang Hadi? Lalu, apakah gadis itu juga yang telah mengirimkan santet padanya?”
“Saya tidak tahu. Tentunya, saya tak mungkin sanggup mengikutinya. Nah, sepuluh menit setelah itu, tiba-tiba muncul si Hadi, kakangmu. Lalu, berhenti sejenak di dekat sumur. Tengok kanan-kiri. Saya lihat matanya penuh birahi. Sekiranya tak ada orang melihat, ia melanjutkan berjalan. Kemungkinan mengikuti perempuan itu. Kalau masalah membunuh atau tidak, saya tidak punya kuasa untuk menduga-duga. Tetapi, setahu saya, orang yang diguna-guna bisa melakukan apa saja jika sewaktu-waktu kekuatannya hilang. Apalagi, ini menyangkut harga diri seorang perempuan. Kesucian perempuan. Kemarahannya bisa meluap-luap. Ia bisa saja membalas orang yang telah mengguna-gunanya dengan hal yang lebih kejam.”
“Kalau mungkin kebenarannya demikian, bagaimana gadis itu mengetahui orang yang telah mengguna-gunanya?” Pardi semakin penasaran.
“Pastilah ada seseorang yang mengetahui bahwa gadis itu terkena guna-guna. Perlahan-lahan ia mengobatinya atau membawanya ke seorang dukun untuk diobati. Lantas, gadis itu bakal diberitahu siapa yang telah berbuat keji terhadapnya.”
Sejenak Pardi terlihat membenamkan wajah. Mungkin ia tak langsung menaruh dugaan buruk terhadap Kang Hadi, tetapi bagaimana pun ia musti mencari kebenarannya. Pertama, ia kudu memastikan apakah gadis itu benar-benar sosok yang ada dalam perkiraannya. Sementara, lelaki tua itu tiba-tiba tersenyum sinis seperti menyembunyikan beberapa kebenaran.
“Aku sudah memiliki rencana lagi untuk berusaha membuka kebejatan dukun itu, Ki,”ungkap seorang perempuan dipenuhi dendam usai sepuluh menit Pardi berlalu.
Desember 2021