sumber foto asli: pixabay

Riausastra.com – Siang telah usai. Matahari yang semula tampak condong perlahan mulai tenggelam secara diam-diam.

Rona-rona berwarna jingga di langit membuat mata seolah dimanjakan. Di sebuah warung tempat biasa nongkrong. Aku dan gadis pujaan hatiku bersantai sejenak, sebelum semuanya berubah gelap. 

Kami duduk berdua sembari menikmati manisnya es teh untuk menghilangkan dahaga. Hari ini memang terasa sangat panas, ditambah kami pun masing-masing sibuk dengan berbagai aktivitas. Es teh menjadi hidangan yang pas.

Lama kelamaan di warung sudah mulai hening, tersisa hanya kami berdua dan sepasang suami istri penjaga warung.

“Ini adalah momentum yang pas,” ucapku di dalam hati. Setelah melewati berbagai rangkaian obrolan dengannya.

Dengan sedikit kebingungan, lalu kuberanikan diri ini untuk bertanya. 

“Dik,” dengan nada berbisik. “Sudah sejauh mana perjalanan kita?” 

lontaran pertanyaan itu seketika terasa membuat suasana menjadi senyap. Hiruk-pikuk senja dengan binarnya menjelang malam seolah ikut lenyap. Diam-diam, sembari memegang es teh yang telah kami pesan, diiringi senyuman tipis ia pun membuka suara.

“Hmmm. Kita belum kemana-mana, Bang.” Ucapnya, “kita masih di sini saja.” Dengan memperlihatkan senyumannya yang amat lembut.

Mendengar itu aku pun menghembuskan nafas sebentar, mendongak. Lalu kulihat lagi raut wajahnya.

“Jadi? Perjalanan Abang bersamamu selama ini belum membawa Abang di posisi manapun, Dik?” Aku menatap serius.

“Belum, Bang” ucapnya dengan lirih.

Ternyata, jawabannya di luar ekspektasiku selama ini. Dan itu sangat merobohkan hati. Sekian detik aku terdiam, pikiranku berkecamuk. 

Aku menahan ludah, dalam keadaan tertunduk, memegang es teh yang sudah mulai tandas.

“Dik, ada satu pertanyaan yang sudah lama Abang simpan untukmu?” Kuberanikan diri untuk kembali bertanya.

“Apa, Bang?” balasnya dengan redup.

“Adakah Abang di hati dan pikiranmu, Dik?” 

“Untuk saat ini?” 

“Yaa, Dik”

Ia sedikit gelisah, duduknya tampak tak nyaman. Sepertinya pertanyaan itu tak mau untuk dijawab. Lalu ia kembali menjawab dengan pertanyaan.

“Kenapa Abang tanya begitu?”

“Untuk memastikan saja, Dik.” Sembari kutatap matanya, “bukan hanya perempuan, laki-laki juga tidak mau hidup dalam ruang harapan tanpa setetes cahaya kepastian.”

“Entahlah, Bang. Terkadang Abang ada dalam pikiranku, tapi itu ‘terkadang’ saja.” Jawabnya dengan raut wajah kian memudar.

Ia pun menoleh dari pandanganku, kemudian berucap, “jika di dalam hatiku untuk saat ini, jujur aku tidak menempatkan hatiku pada siapa pun, Bang. Mungkin itu termasuk Abang. Tapi jika ada orang yang bertanya, siapa yang paling dekat bersamaku saat ini, itu jawabannya pasti, Abang.”

Sepertinya kedekatanku selama ini  tidak membuahkan apa-apa bagi dirinya. Hati ini rasanya ingin protes! Berontak! Tapi untuk apa juga?

Aku sadar, memang terkadang manusia bisa menyelam hingga lautan terdalam yang amat lapang, namun manusia tak mampu menyelami dengan tepat hati seseorang. Itulah yang terjadi pada kondisiku sekarang.

Perkara hati aku memang tidak bisa memaksa, sebab hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk membolak-balikkan hati manusia. Aku hanya bisa berhusaha, agar namaku bisa hadir di dalam hatinya.

***

Tak terasa, pertanyaan demi pertanyaan membuat kami berdua hanyut dalam kebersamaan dan sekaligus membuatku terombang-ambing dalam kesedihan. Yang sama sekali tak pernah kuperlihatkan di hadapannya. Sang gadis pujaan; Sabila, itulah namanya.

Magrib pun hampir punah, sebelum beranjak meninggalkan pertemuan. Dia menyampaikan pesan. “Bang, lusa aku sudah tidak di kampung ini lagi.” Tegasnya, ” seperti yang Abang tahu, masa baktiku di kampung ini sudah selesai. Terimakasih, karena telah membantu selama aku di sini.”

“Iya, Dik. Abang masih ingat dengan hal itu.” Ucapku, “seperti yang sering Abang katakan, kebersamaan kita memang terbatas, tapi Abang yakin, kenangan kita tetap abadi. Melampaui batas kebersamaan kita.” Kutimpal dengan senyuman tipis. Padahal hatiku tersedu-sedu sedang menangis.

Aku sudah menghitung hari-hariku bersamanya. Tanpa satu hari pun terlewatkan dalam ingatan dan memang pertemuan kami sore itu bisa dikatakan pertemuan terakhir.

Kurang lebih tiga bulan ia di kampung halamanku. Lusa memang jadwalnya untuk kembali lagi ke kampus. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dalam hitungan hari sudah usai, tapi aku merasa kisahku baru saja dimulai. Rasanya.

Aku pun bergegas menghantarnya pulang, menaiki sepeda motor tua yang sering kugunakan ke ladang. Memang tampak sudah agak renta, tapi di sepeda motor inilah kebersamaanku bersamanya terangkai dengan indah. Dan bagiku, itu hal yang tak biasa.

Di lain sisi, aku juga merasa sangat pesimis, wanita mana yang sanggup memberikan hatinya kepada seorang anak petani yang kerjaannya hanya di ladang yang bertemakan sepeda motor tua.

Apalagi dia yang sudah mengeyam pendidikan di perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan hatinya, karena sekolahku hanya tamatan SMP saja. Hari-hariku hanya sibuk mengurus ladang. Pergi pagi pulang sore. Saban harinya.

***

Di hari keberangkatannya. Kami tak sempat untuk bertemu. Sebab hari itu pekerjaanku sangat banyak di ladang, hama telah memangsa ladang kami. Pekerjaan di ladang telah merampas waktuku untuk sekedar bertemu untuk terakhir kalinya. 

Semenjak itu, aku tidak pernah lagi melihatnya. Sudah hampir sebulan berlalu, aroma tentang dirinya masih terpancar dari bagian diriku. Rasanya, tidak percaya semua ini bisa berjalan. Ia terus membasahi ingatan dan masih susah untuk kulupakan.

Sejak kepergiannya ia tak pernah menghubungiku lagi. Sebenarnya, saban hari aku menunggu telfon atau chat darinya, tapi sepertinya semua telah sirna. Ia sepertinya enggan untuk memberikan kabar. Atau sekedar basa-basi untuk menyapa.

Aku pun tak berani memulai menelpon atau hanya sekedar mengucapkan kalimat salam via chat, seperti kebanyakan orang. Bukan tak mau membesarkan perjuangan perasaan. Tapi bagiku yang jauh terpenting dengan berbagai kesibukan, aku masih sempat mendoakannya. Itu memang jalan sepi, tapi aku paham, Tuhan pasti mengerti harapanku.

Sabila, perempuan cerdas yang pernah singgah di kampungku. Yang telah menggugah hati dan jiwaku. Ia seorang perempuan yang sangat bersemangat untuk belajar dan mengejar karir. Itulah kesan selam aku bersamanya. Tentu hari-harinya sangat sibuk dengan kegiatan belajar di kampus. Aku pun tidak mau merusak hari-harinya.

Setelah sekian lama, baru aku sadar. Di kampungku ada salah seorang anak warga yang juga satu kampus dengannya, ia merupakan adik kelas SMP-ku dulu. “Hery” namanya.

Menurut cerita tetanggaku, sekarang ia sedang berada di kampung. Sebab dua hari yang lalu ia pulang karena ada keperluan. Aku pun tak tahu apa itu. Keinginanku hanya ingin bertemu dengannya, untuk menanyakan kabar gadis yang pernah meluruhkan hatiku.

***

Seperti malam-malam biasanya, ketika pikiran mulai suntuk. Aku selalu menghabiskan waktu di warung tempat terakhir kami bersua.

Malam itu, gerimis menyelimuti perkampungan. Hawa dingin oleh hembusan angin tipis membuat diriku didekap oleh kerinduan. Segelas kopi hangat kembali menyadarkanku akan keadaan.

Orang-orang di warung sibuk dengan obrolannya masing-masing. Sesekali ada juga suara menyapa diriku yang sedang duduk di pojok sendirian. Cukup lega bisa terlepas dari rumah dan hadir dalam kerumunan. Dari dulu suasana warung tidak berubah, hanya beberapa orang saja tidak kukenal yang telah singgah.

Tiba-tiba ada sepeda motor yang bergegas singgah di warung. Tampak  seorang pemuda sedikit basah mengusapkan kepala dan pakaiannya.

“Sepertinya, aku kenal dia.” Seruku di dalam hati dengan pandangan sayup.

Ya, ternyata itulah adik kelas sekolah SMP-ku dulu, yang kuliah satu kampus dengan gadis pujaan hatiku. Aku pun dengan semangat melemparkan sapaan.

“Heiii, Her!” Sapaku, “mau kemana gerimis-gerimis begini?” tanyaku dengan sedikit nada basa-basi.

“Eh, Abangnda.” Ia melihat ke arahku. “Sudah lama tidak bersua, sendiri aja, Bang?” Ia pun berjalan menghampiriku.

Itulah yang unik dari Hery, dia selalu memanggilku dengan sebutan “Abangnda”. Kami pun saling bersalaman, duduk bersama dan memulai obrolan. Tak lupa Hery juga memesan kopi hangat.

“Bagaimana kabar, Abangnda?” Ia bertanya. 

“Alhamdulillah, Abang baik-baik saja.” Timpalku.

Dari situlah obrolan dimulai dan berlanjut, kami terjebak dengan berbagai pembahasan, mulai cerita waktu SMP dulu, kisah cinta-cintaan, sampai dengan cerita pencapaian kami sekarang. Saling tukar cerita dan merayakan tawa. Ya, begitulah. 

Di luar, suasana gerimis berubah menjadi hujan. Rintik-rintiknya membungkus halaman dengan nada-nada keriangan. Sejauh mata memandang hanya terlihat air yang berjatuhan, ditambah kerlap-kerlip lampu di pinggir jalan dan rumah-rumah warga yang tampak dari kejauhan.

Suasana di warung dan di jalan semakin hening. Yang semula datang telah memutuskan untuk pulang. Sepertinya warga kampungku memilih bersembunyi di balik selimut, beristirahat karena lelah seharian bekerja di ladang. 

Di tengah-tengah obrolan kami, kuselipkan pertanyaan tentang gadis itu. Yang memang merupakan niat awalku. 

“Her, dirimu satu kampus dengan Sabila, ya?” tanyaku dengan sedikit malu.

“Waduuuw, Sabila mana , Abangnda?” Ia pun senyum dengan puasanya.

“Sabila yang kemarin sempat KKN di kampung kita.” Jelasku lagi.

Tampaknya ia sedikit kebingungan. Dengan raut wajah mencoba mengingat-ingat wajah yang bernama Sabila.

“Oh. Kak Sabila yang kemarin KKN di sini. Ingat aku, Bang.” Seru Hery dengan nada senang. “Bapakku juga ada cerita, bahwa ada mahasiswa/i satu kampus denganku yang KKN di sini, baru kuingat.”

“Sebelumnya, memang ada beberapa orang sempat chat ke aku, Bang. Aku enggak tahu mereka dapat kontakku dari siapa. Yang pastinya mereka nanya-nanya soal kampung kita aja, sih.” Jelasnya lagi, “aku enggak terlalu dekat sama dia di kampus, Bang. Hanya sempat beberapa kali ketemu di kantin kampus saja. Kebetulan Kak Sabila senior di fakultasku.”

Aku tidak terlalu mengerti apa yang disebut “fakultas”, yang kupahami fakultas itu layaknya kelas. Tapi aku coba mengangguk, menampakkan raut wajah seolah-seolah mengerti apa yang telah ia bicarakan.

“Bagaimana aktivitasnya di sana ya, Bro?” tanyaku untuk memastikan keadaannya. “Apa dia baik-baik saja, ya?”

“Biasalah, Bang. Mereka kalau sudah selesai KKN paling disibukkan dengan laporan mereka selama di sini.”

“Oh, begitu.” Aku mengangguk.

“Abang boleh nanya sesuatu hal enggak samamu, tentang Kakak seniormu itu.”

“Boleh, Bang. Apa yang bisa kubantu, Bang.”

“Apa dia di sana lagi dekat sama seseorang?” tanyaku sedikit berbisik dengan nada malu-malu.

“Kalau itu, kurang ngerti juga aku, Bang. Tapi, beberapa kali terakhir aku ketemu di kantin, Kakak itu sering bersama seorang laki-laki. Entah itu temannya atau bukan, intinya dia akrab sama laki-laki itu. Aku tidak terlalu mengenalinya, aku yakin laki-laki itu bukan mahasiswa dari fakultasku.” 

“Ngapain dia?” air mukaku langsung keruh, darah di kepala rasanya mengalir cukup kencang.

“Sepintas yang kulihat duduk berdua aja sih, Bang. Sambil ngobrol, bercanda dan tertawa.” Jelasnya lagi.

Mendengar itu aku pun menjadi termenung sejenak. “Tuhan! Baru saja perasaan ini mau tumbuh, tapi kenapa sudah dihadapkan dengan kabar runtuh?” ucapku di dalam hati dengan nada mengerutu.

“Ada apa, Abangnda?” Ia bertanya.

Aku masih terjebak dalam lamunan. Pikiran telah berterbangan entah ke mana-mana, membawa amarah dan kecurigaan.

“Bang!” Tegurnya lagi.

“Oh, ya, Bro.” Dengan sedikit kaget, aku tersadar dari lamunan, “enggak ada apa-apa.” 

“Cieeee!” Ia seperti mengejekku. “Maaf, Abangnda, apa Abang sudah jatuh hati ke Kak Sabila, ya, Bang?” tanya dia lagi dengan raut wajah penasaran.

“Entahlah, Her,” ungkapku dengan sedikit lesu. “Perasaan Abang layaknya sebutir benih yang pernah jatuh ke ladang. Setelah jatuh ternyata sekarang benih itu sudah mulai tumbuh. Tapi ketika mendengar ceritamu, Abang sendiri tak yakin, sepertinya benih itu akan tumbuh pada musim kemarau nan gersang.”

Hery pun tampak serius mendengarkan ceritaku, suara hujan yang berjatuhan di atas genteng tak mampu membuat mulutku kian membisu. Hanya saja membuat suasana semakin syahdu.

“Sabar, ya. Bang. Bisa saja, apa yang kukatakan itu tidak benar, Bang.” Dengan nada sendu, Hery menjelaskan, ” karena apa yang aku lihat belum tentu fakta yang sebenarnya.”

“Fakta atau palsu, ketika seorang perempuan telah menemukan tawa di dalam kesibukan dan kelelahannya. Abang yakin, dia telah menemukan jalan kebahagiaannya sendiri.” Ucapku sembari menghirup pahitnya kopi.

“Tentu orang yang selalu bersamanya, punya peran besar di dalam jiwanya. Itu tak bisa kita pungkiri. Apalagi yang bersamanya seorang laki-laki.” Jelasku lagi kepada Hery.

“Cobalah Abang hubungi Kak Sabila lagi, tanyakan kembali, pelan-pelan ajak dia berdiskusi. Bang. Semuanya masih bisa diminta kejelasan.” Ujar Hery, mencoba merasuki suasana hatiku yang sunyi. Lampu-lampu di warung yang berwarna oranye membuat kelengangan semakin menjelma kesunyian.

“Kamu benar, Her,”

“Apa yang benar, Bang?” Hery kembali bertanya.

“Kamu benar, semuanya masih bisa diminta kejelasan.”ucapku dengan suara yang agak berat. “Tapi yang tidak habis pikir oleh otak Abang yang dangkal ini. Kenapa dia sama sekali tak pernah menghubungi Abang lagi?”

Hery sepontan menunduk, punggungnya tampak membungkuk, tangan kanannya mengambil gelas yang berisikan kopi, lalu diseruput, setelah itu ia bergumam, “Mungkin Kak Sabil ingin melihat perjuangan, Abangnda. Ia ingin menguji sejauh mana perjuangan Abang mendapatkan hatinya.”

“Apa gunanya Abang berjuang, untuk seseorang yang namaku saja tidak ada di dalam hatinya, Her?” sahutku lagi dengan nada kecewa.

“Dari mana Abangnda tahu?” 

“Sebelum kepulangannya, Abang sudah sempat mengungkapkan indahnya perasan ini kepadanya, Her.”

“Wah, memang berani kali, Abangda.” Ia memujiku. “Terus bagaimana kelanjutannya, Bang?”

“Dia belum memiliki rasa apapun kepada Abang, Her. Selama hampir tiga bulan diawal kedekatan kami di kampung ini.”

“Kebanyakan perempuan memang seperti itu, Bang.” Dia benar-benar ingin melihat kesungguhan kita sebagai laki-laki.” Balas Hery.

“Mungkinlah, Her. Semoga saja anggapanmu benar adanya.” Jawabku. 

Kami terdiam sejenak. Tubuhku dan Hery telah dipeluk dinginnya malam. Pandanganku tertuju pada kehampaan, sedangkan pandangan Hery tertuju pada gawainya. Tak terasa ternyata hari semakin larut malam. Hujan pun sudah tampak agak tenang.

“Her, sepertinya waktu istirahat kita telah tiba.” Tegasku kepada Hery sebagai kode untuk saling beranjak.

“Oh, ya. Bang. Jadi bagaimana Kak Sabila, Bang? Apa yang bisa kubantu?”

“Tidak ada, Her. Kamu sudah menemani dan mendengarkan kisahku, itu sudah lebih dari cukup. Terimakasih, ya”

“Sama-sama, Bang.”

Aku pun menutup obrolan dan tak lagi melanjutkan. Malam ini hatiku benar-benar terluka, bayang-bayang tentang dirinya masih tak bisa lepas dari kepala. Senyum dan tawanya.

Di kepalaku hanya ada tawanya yang telah terbit bersama seseorang. Dan sinar perasaanku kepadanya malam ini benar-benar telah ikut terbenam. Bagaikan siang telah berganti malam, menuju keheningan yang hampa.

Aku yakin, lama kelamaan aku akan terbiasa, sebab cinta itu bisa mati bukan karena tidak terbalaskan. Bukan. Tapi, akan mati oleh sikap pengabaian. Pengabaian adalah sikap yang paling mematikan perasaan. Itulah yang dilakukan Sabila kepadaku.

“Yuk, kita pulang.” Nanti takut kembali terperangkap hujan. Ajakku kepada Hery.

Setelah memasang jaket dan membayar kopi, akhirnya kami pun siap-siap beranjak. Dengan nada sopan kami berpamitan dengan penjaga warung.

Di luar suasana malam semakin suram, hujan yang semula tampak beringas telah berhenti yang tersisa hanya kelembapan. Rasanya hujan malam ini bukan hanya membahasi bumi, tetapi juga kondisi hati.

“Her,  Abang pulang dulu, ya.”

“Oke, Bang. Hati-hati di jalan. Sampai ketemu di lain kesempatan.” Ucap Hery sembari menghidupkan sepeda motornya.

“Sippp!” Aku mengajukan jempol kepadanya.

Akhirnya kami pun pulang menggunakan sepeda motor masing-masing, yang tentunya sepeda motor Hery lebih bagus dari punyaku.  Di persimpangan kami pun berpisah, sebab jalan ke rumahku dan rumah Hery beda arah.

***

Setelah pertemuan malam itu, aku pun tak lagi bertemu Hery. Mungkin dia pun sudah pergi ke kota tempatnya kuliah. Sialnya dalam pertemuan itu kami pun lupa untuk saling tukar nomor handphone. Mungkin karena rasa kecewa, sampai membutakan ingatanku malam itu.

Kini hari-hari yang kujalani hanya bisa berhusaha bersikap manis. Melakukan semua tugasku sebagai seorang anak petani, dan terkadang tertawa sendiri untuk menghibur diri.

Setelah perpisahan dengan Sabila, kuterus menyibukkan diri, niatnya untuk melupakan, tapi tanpa sadar, usai perpisahan aku benar-benar disibukkan oleh kenangan yang beralirkan air mata kesedihan. Bagiku, dunia ini hanya rangkaian kesenangan yang menipu. Dan aku telah tertipu oleh kesenangan itu. Terkutuk!

-Selesai

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini