Riausastra.com – Malam ini, langit Kota Sidimpuan laksana sebuah ruang hening di antara gugusan gemintang. Pekatnya hari telah menjanjikan pergantian waktu. Seperti tak berdaya, insan terbuai dalam mimpi-mimpi panjang tak berpangkal dan tak berujung.
Salah seorang petugas piket apel pagi mengisyaratkan alarm bangun pagi dengan tepukan tangannya yang membahana. Pertanda fajar mulai tiba. Bergegas, seluruh penghuni asrama meninggalkan peraduan dan melaksanakan apel pagi menjelang subuh.
Tidak berapa lama selepas apel pagi, seorang gadis merangkai jemarinya di sudut masjid yang cukup remang. Panggil saja dia dengan Berlian Nauli Nasution. Wajahnya teduh, tapi jiwanya tengah bergemuruh. Seperti pagi ini, gadis itu betah sekali berkutat dengan perasaannya.
Bangun pagi, salat subuh, piket, sarapan, sekolah, salat zuhur, pulang sekolah, makan siang, salat asar, les sore, salat magrib, makan malam, salat isya, belajar malam, tidur. Waktu bergulir hingga bangun kembali. Begitulah keseharian Berlian bersama penghuni asrama lainnya. Ada kalanya gadis itu merasa jenuh. Ditambah pula rasa rindu yang tak bisa dipungkirinya pada ayah dan ibunya.
Ulangan harian pun digelar. Berlian segera mengumpulkan kertas ulangannya. Hanya tiga soal mata pelajaran fisika yang diberikan oleh Pak Edi. Dalam hitungan menit, seluruh jawaban siswa sudah selesai dikoreksi oleh guru berpostur kecil dan energik itu.
Berlian menerima hasil ulangannya dengan gemetar. Wajah bening gadis berdarah Mandailing itu memerah. Ia pasrah seandainya Pak Edi memberikannya angka nol besar di lembar ulangannya sambil menghujaninya dengan repetan panjang.
Ternyata, Berlian salah menduga. Ia sama sekali tidak menerima kemarahan apapun. Masih dengan hati yang kacau, gadis itu pelan-pelan membuka kertas ulangannya. Pandangannya fokus pada sebaris pesan yang ia tulis sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Edi dalam lembar ulangannya.
“Pak, maafkan saya karena tidak mengisi lembar jawaban ini. Saya tidak belajar menjelang ulangan. Saya sedang tidak semangat belajar, Pak. Maaf..,” tulis Berlian.
Betapa kikuk dan terkejutnya gadis itu ketika mendapati pesan balasan dari Pak Edi.
“Ananda yang dirahmati Allah. Semoga semangatmu segera kembali. Jangan pernah menyerah dalam menuntut ilmu. Mudah-mudahan Allah memberkahi ilmu yang diperoleh dan menguatkan hati Ananda,” balas Pak Edi.
Gadis itu malu dengan dirinya sendiri. Ia pikir, Guru Fisika itu akan memperlakukannya sesuka hati dengan cara memarahinya karena sudah berbuat konyol. Akan tetapi, semua yang ia terima hari itu berbeda dengan perlakuan gurunya yang mudah sekali marah saat ia masih SMP di luar Nurul Ilmi.
Hampir dua semester Berlian menjalani kisah hidupnya di Nurul Ilmi. Tapi, belum pernah ia rasakan amarah dari salah seorang guru pun hingga hari ini. Nurul Ilmi benar-benar sebuah sekolah yang menakjubkan bagi dirinya meskipun di satu sisi ia belum bisa berdamai dengan egonya.
Hatinya yang diam membisu seakan berterima kasih pada Pak Edi. Ia tak henti memandangi punggung lelaki beranak dua itu hingga menghilang di balik dinding karena jam pelajaran telah usai.
Ada rasa sesal karena tidak bersungguh-sungguh belajar Fisika malam itu. Tapi, Berlian tetap ingin bersikukuh dengan egonya. Tidak serius belajar mata pelajaran apapun adalah bukti sikap yang ia pertontonkan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak betah hidup berasrama di Nurul ‘Ilmi.
Sekembali dari sekolah, jam makan siang pun tiba. Suka tidak suka, setiap menu yang disediakan oleh Ibu Dapur, wajib dihabiskan. Jangan sampai sebutir nasi pun tersisa.
“Kita tidak pernah tahu, pada butir nasi yang mana keberkahan yang Allah berikan,” urai Kak Jogina yang berperan sebagai Ketua Seksie Konsumsi di Asrama Muthiah pada suatu hari.
“Silalat, enak kali ini.”
“Wow, menu hari Jumat memang spesial. Ayam goreng dan sayur silalat.”
“Stttts. Jangan sebut silalat. Bahasa Indonesianya daun ubi tumbuk. Hati-hati pakai bahasa daerah. Ada Seksi Bahasa yang siap sedia di mana saja untuk mencatat kesalahan kita. Hahaha.”
“Aku minta sambalmu, Tiur. Sambal kiriman mamakku sudah habis. Aku nggak suka lauk ayam.”
Perbincangan di ruang makan riuh sekali. Suasananya mirip seperti Pasar Ramadan di halaman Masjid Raya Kota Medan saat beduk berbuka telah tiba. Ada saja bahan obrolan yang menjadi pokok pembicaraan anak-anak asrama putri.
Berlian menuju kamarnya di lantai satu. Gadis itu mengambil kecap asin dari dalam peti kayunya yang berfungsi sebagai tempat bekal makanan ringan dan sambal rumahan buatan ibunya untuk jatah selama dua minggu.
“Kita minta sambal si Berlian aja, yuk.”
“Nggak usah. Dia itu kikit Mandailing!”
“Hihihi.”
Ada anekdot yang menceritakan bahwa orang Mandailing itu identik dengan “pelit”. Hal ini tercipta dari cerita basa-basi orang Mandailing saat sedang ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Adatnya orang Batak dalam menyambut tamu adalah makan bersama. Akan tetapi, dalam anekdot ini, orang Mandailing tersebut yang juga dianggap sebagai keturunan Batak hanya menyuguhkan air putih kepada tamunya. Saat tamunya sudah beranjak pulang, barulah pemilik rumah berbasa-basi menawarkan untuk makan bersama. Begitulah anekdot yang berkembang sehingga dikenal istilah “kikit Mandailing”. Padahal, bisa jadi si pemilik rumah memang sedang tidak punya makanan untuk disantap bersama. Bisa pula karena prinsip orang Mandailing yang tidak begitu mudah percaya dan mudah akrab dengan orang lain.
***
Sabtu beranjak petang. Senja pun tak lagi memerah. Hanya langit yang masih setia menyambut gulita. Berlian Nauli Nasution belum juga sanggup mengobati jenuh di hatinya. Ia memilih untuk banyak diam. Ia biarkan perasaannya hanyut dalam bayang-bayang kerinduan. Pada ayahnya yang pangalahok (pembujuk), juga ibunya yang suka menghiburnya dengan marende (bernyanyi) lagu Balun-Balun Bide dan lagu Boru Panggoaran.
Malam itu, ada beberapa nama yang dipanggil menuju masjid setelah diadakan sidak secara diam-diam di asrama. Kegiatan sidak biasanya dilakukan sekali dalam setahun. Seluruh isi pakaian, tempat tidur, bahkan lembar demi lembar buku tulis dan buku pelajaran akan disusuri secara perlahan. Apa saja. Seperti sebuah atraksi untuk menemukan harta karun yang tersembunyi.
Berlian dan beberapa nama anak putri diminta untuk segera menuju masjid. Gadis itu terkejut bukan main. Ia bertanya-tanya dalam hati, kesalahan apa yang telah membuat namanya ikut serta sebagai tersangka dalam sidak malam itu?
Sesampainya di masjid, Berlian mendapati Kak Jogina menangis. Terlihat Bu Eli memarahi gadis itu. Ternyata, saat sidak barusan, ditemukan sepucuk surat cinta di dalam tas Kak Jogina. Surat itu dari Bang Hasian. Kak Jogina mengaku sudah dua kali mereka saling berbalas surat. Banyak mata yang tidak menyangka Kak Jogina yang perawakannya sangat alim itu juga menyimpan virus merah jambu dalam hatinya. Gadis kelas tiga SMA itu divonis hukuman berat karena kesalahannya dianggap fatal.
Bagaimana dengan Bang Hasian? Ahh, Berlian tidak mau ambil pusing. Pikirannya saja masih kacau. Apa gerangan yang menjadikannya tersangka juga malam itu?
Di luar ingatannya, Berlian ternyata pernah menuliskan sebuah nama di lembar terakhir buku catatan biologinya. Hanya sebuah nama seorang senior yang ia kagumi, Bang Situmorang. Tidak lebih. Bahkan, Berlian tidak pernah tahu apakah lelaki itu mengenalnya atau tidak. Yang ia tahu, Bang Situmorang pandai sekali menulis puisi.
Malam purnama yang kelabu bagi seorang Berlian. Bu Eli juga menasihatinya panjang kali lebar. Bahkan vonis hukuman telah ia terima. Karena kesalahannya tidak fatal, Bu Eli hanya memberinya hukuman membakar sampah di sekitar pembuangan akhir. Huh, sial..
***
Tiada terasa, waktu cepat sekali bergulir. Namun sayang, perasaan seorang Berlian masih sama: galau.
Saat jam istirahat sekolah, Berlian dipanggil oleh wali kelasnya menuju ruang guru. Kali ini, gadis itu tidak penasaran karena memang dialah yang menulis segaris kalimat di lembar ulangannya saat pelajaran agama Islam tadi sebagai ungkapan perasaannya.
“Pak, Saya ingin curhat,” tulisnya dengan singkat.
“Ada masalah apa, Berlian?”
Wali kelas itu tengah merapikan beberapa buku latihan di atas meja kerjanya saat Berlian memasuki ruang guru. Gadis berwajah manis itu dipersilakan duduk di depan si wali kelas.
“Saya tidak betah sekolah di sini, Pak.”
“Kenapa, Nak?”
Senyap. Hanya air mata yang mampu bicara.
“Tidak semua orang merasa nyaman hidup berasrama. Semua kembali pada pilihan,” hibur Pak Wali Kelas.
Berlian masih terisak dalam diam.
“Saya punya saudara jauh yang kemampuan kognitifnya sangat rendah. Dia dijuluki dengan Ucok Bodo. Masa kecilnya selalu diejek oleh teman-temannya. Sekolah SD pun tidak tamat. Tapi, si Ucok santai saja. Saat usianya beranjak remaja, dia merantau ke Tanah Jawa. Di sana dia belajar marketing dari bos tempatnya bekerja. Ternyata, si Ucok menyukai bidang bisnis. Sampai akhirnya, dia sukses, bahkan punya mobil dan rumah mewah di Ibukota. Saat pulang kampung, orang tidak lagi berani mengejek, bahkan sangat menghormatinya. Artinya, setiap orang punya kemampuan masing-masing. Di sekolah ini, kecerdasan otak adalah prioritas sehingga semua siswa dipaksa harus mampu melampaui nilai standar minimum agar tidak terancam droop out. Bapak yakin, kamu bukan menyerah. Kamu juga bukan tidak cerdas. Hanya belum menemukan kesesuaian hati saja.”
“Jika saya keluar dari sekolah ini, bangaimana Pak?” Berlian memberanikan diri bertanya meskipun dia tahu bahwa pertanyaan itu sangat klise.
“Kembali pada pilihan Ananda. Saya tidak punya hak memaksa agar Ananda tetap bertahan di sini,” Guru Agama Islam itu menjawab dengan segaris senyuman.
“Saat saya mengisi kajian majelis ilmu di Nurul Ilmi, pasti akan ada perbedaan saat saya mengisi kajian di luar Nurul Ilmi. Sepuluh orang yang hadir kajian di Nurul Ilmi tidak menjadi ukuran kesuksesan bagi saya dalam menyampaikan ilmu. Sebab, kehadiran sepuluh orang siswa ini rutin, tapi belum tentu karena kesadaran pribadi. Sebagian siswa hanya takut pada hukuman yang dibuat sekolah. Berbeda dengan sepuluh orang siswa di luar Nurul Ilmi yang hadir karena kesadaran sendiri. Sepuluh orang ini perlahan-lahan akan berkurang jadi tujuh, lalu sisanya hanya sampai tiga orang saja. Seleksi alam, siapa yang istikomah dia yang akan bertahan. Meskipun hanya tiga orang, tetapi tiga orang ini benar-benar orang-orang pilihan yang siap menebarkan ilmu yang mereka peroleh kepada orang lain. Nah, jika merasa sekolah di luar Nurul Ilmi menjadikan kualitas keimanan lebih tinggi, silakan saja. Jangan dipaksakan tetap bertahan di sini.”
Berlian menyeka air matanya. Gadis itu merasa mulai menemukan oase dalam ketandusan batinnya. Kunjungan puteri hanya tinggal menghitung hari. Gadis itu berjanji, saat ayah dan ibunya berkunjung nanti, ia akan mengutarakan keinginannya untuk pindah sekolah.
***
Hari yang ditunggu oleh Berlian telah tiba. Akan tetapi, rona bahagia yang terpancar di wajahnya kembali meredup. Hati gadis itu seketika retak saat Nanguda Nur mengabarinya bahwa ayah dan ibunya tidak bisa hadir pada kunjungan ini. Gadis itu memilih untuk pamit dan membiarkan Holilah melepas rindu bersama ibunya, Nanguda Nur, tetangga orang tuanya di Tanah Mandailing.
Tanpa berpikir panjang, Berlian memasuki kamar sebuah wartel yang terletak di depan Kompleks Nurul Ilmi. Gadis berkerudung merah marun itu menekan nomor ponsel milik ayahnya. Telepon terhubung. Dari seberang sana, suara riang gembira sang ayah membahana menyambut telepon dari putrinya.
“Ayah dan Umak tidak bisa ke Sidimpuan, Inang. Tulang-mu akan marpege-pege nanti malam. Kami minta maaf.”
Berlian mencoba menahan isak tangisnya. Ia benar-benar tak ingin membuat orang tuanya terluka dengan keinginannya. Sekuat hati, gadis itu mendengarkan ayahnya bercerita. Hatinya mengharu biru, antara rindu dan risau.
“Sebentar lagi sudah libur sekolah, Inang. Kami juga malungun. Kalau sudah libur nanti, kita jalan-jalan ke Pesantren Musthofawiyah di Purba Baru, ke Aek Sijornih, ke Benteng Huraba, dan ke Simago-mago. Semangat belajarnya ya, Inang.”
Ayah mengira bahwa isakan tangis putrinya hanya sebatas luahan kerinduan. Padahal, ada satu yang tersembunyi jauh di dasar hati anak perempuannya itu.
“Kiriman ayah dan umak sudah sampai?”
“Sudah, Yah. Tadi sudah kuambil dari Nanguda Nur. Makasi Ayah, Umak.”
“Ada sambal teri medan. Ada panggelong sipirok kesukaanmu. Ada kipang dan bika panyabungan. Ada gulai rendang ayam kampung. Ada salak sidimpuan. Ada juga itak poul-poul. Semua makanan ini sengaja dikumpulkan untuk persiapan marpege-pege nanti malam sekaligus untuk mengisi kiriman buatmu. Makanlah, Inang. Jangan lupa berbagi dengan teman-temanmu, ya.”
Pembicaraan panjang lebar telah usai. Seperti biasa, ayah akan selalu memberi petuah sebagai tanda cinta.
“Marsitungkol-tungkolan di sikola da Inang, songon suhat di robean.” (saling menguatkan di sekolah ya, Nak, seperti talas di lereng bukit). Carilah sahabat yang bisa menjadi teman dalam suka dan duka, Nak. Sudah ketemu, kan?”
“Mmmm, udah, Yah.” Dengan rada-rada gugup, gadis itu mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya sahabat yang tepat baginya.
Nasihat sang ayah tentang marsitukkol-tukkolan menjadi sebuah binar cahaya yang menerangi batinnya. Benarkah selama ini ia tak punya sahabat sehingga ia merasa tidak menemukan kenyamanan di balik gedung megah Nurul Ilmi? Tiba-tiba ingatannya tertuju pada Rosma.
Ia yang biasanya lebih suka sendiri karena begitu cuek pada orang lain, telah disadarkan dengan kehadiran Rosma di setiap kesulitan yang ia rasakan. Rosma menemaninya menyelesaikan hukuman saat sidak beberapa hari yang lalu. Rosma yang memberinya semangat baru ketika dirinya demam sepekan yang lalu. Bahkan, Rosma yang selalu membantu dirinya mengangkat air dari sumur korek-korek dan menyetrika karena tangannya belumlah begitu lihai. Kebaikan-kebaikan Rosma mengajarinya untuk lebih peka terhadap lingkungan dan orang lain. Ahhh, perempuan sederhana bernama Rosma telah membuka mata hati seorang Berlian. Sudah saatnya gadis itu membuka diri dengan marsitungkolan bersama Rosma dan yang lainnya agar perasaannya tidak lagi sendu.
Hati Berlian kembali merekah dengan nasihat yang diberikan ayahnya. Pun juga ingatan pada sosok seorang Rosma. Keinginan untuk pindah, segera ia kubur dalam-dalam. Ia tidak sampai hati mengecewakan ayah dan umak-nya. Ia coba menata hatinya sekuat-kuatnya.
Bagaimana mungkin ia akan menyerah begitu saja? Ingatan saat dinyatakan lulus seleksi penerimaan siswa baru SMA Nurul ‘Ilmi kembali memenuhi bilik hatinya.
Terbayang betapa repotnya ibunya menyiapkan nasi upa-upa sebagai ungkapan rasa syukur dan haru. Pada nasi upa-upa yang tersaji dalam sebuah nampan besar dilapisi daun pisang, dipadankan dengan seekor ayam kampung masak rendang. Di sekitarnya beberapa ikan mas bakar dan sayur daun ubi rebus. Di tengah-tengah nasi, berdiri kokoh sebutir telur rebus dan secuil garam dibungkus dengan daun pisang. Semua sajian dalam nasi upa-upa terkandung makna nasihat berharga.
Bagaimana mungkin juga Berlian begitu mudah menghapus jejak kenangan bahagia itu? Tegakah ia menorehkan rasa kecewa dalam hati kedua insan terbaik itu? Tidak akan! Jangan sampai!!!
Berlian tersenyum di sela-sela gerimis di wajahnya. Segera ia bayar besarnya argo telepon yang berjalan. Ia telah membangun tekad dalam diri untuk tetap bertahan di Nurul Ilmi dan memperbaiki semua sikapnya. Terbersit di hatinya akan mengajak Rosma belanja kerupuk sambal dan beteng-beteng di Pasar Sangkumpal Bonang. Bahkan ia juga berniat akan mentraktir Rosma makan lontong kartini. Rosma pasti senang sekali. Apalagi Rosma jarang sekali dikunjungi orang tuanya karena memang Rosma bukan berasal dari keluarga berada.
“Semoga ini bukan sebuah pilihan yang salah,” batinnya.
Buru-buru gadis itu keluar dari kamar wartel. Tiba-tiba saja, Berlian berpapasan dengan seniornya, Bang Situmorang. Ia mendapati wajah lelaki itu seperti terkesiap dan segera memerah tomat karena kaget.
“Bukankah Bang Situmorang dan kawan-kawan sekelasnya akan berangkat bimbel ke Padang malam ini?” tanya hatinya.
“Hai, semoga saja lelaki itu tidak sampai tahu tentang sidak beberapa hari yang lalu!” Berlian panik.
“Ah, sudahlah.”
Berlian terus melangkah meninggalkan wartel dengan suasana hati yang baru dan segera mencari Rosma.
***