Riausastra.com – Pada beberapa periode yang telah berlalu, Pilkamil diadakan dalam sebuah konsep bernama Mubes dan dilaksanakan secara tatap muka setelah Acara Reuni Akbar Alumni setiap lima Syawal. Calon ketua Alkamil dipilih melalui musyawarah yang biasanya hanya dihadiri oleh orang-orang yang dianggap memiliki kepedulian dan kepekaan “lebih” terhadap alumni dan Nurul Ilmi. Sedangkan alumni lainnya, biasanya hanya sebagai penonton dan sekadar menerima keputusan yang berlaku.
Waktu berganti. Era pandemi pun hadir. Sudah dua kali Idul Fitri, pertemuan Alkamil ditiadakan. Otomatis, mubes tahunan juga tidak terlaksana. Alkamil sunyi senyap. Meringkuk dalam sepi berkepanjangan. Alkamil yang telah mendunia secara database persebaran kadernya seolah-olah laksana bahtera megah, tapi tak bertuan. Hingga akhirnya, bahtera itu terombang-ambing bagai buih di lautan.
Melihat kondisi ini, DPA (Dewan Pimpinan dan Akselerasi) Alkamil segera menyusun kekuatan dan mengambil alih kendali nakhoda Alkamil. Dengan segenap ilmu, waktu, materi, bahkan ide-ide cemerlang segera mereka rancang demi satu tujuan mulia. Yaitu: bahtera Alkamil kembali berlayar. Tim DPA menyadari bahwa sebuah kapal yang kokoh sejatinya berlayar menantang gelombang dan badai, bukan berdiam diri dan tertambat di dermaga, tanpa arti.
DPA melalui Pilkamil kembali menciptakan gairah Alkamil untuk kembali peduli dengan alumni dan Nurul Ilmi. DPA memfasilitasi seluruh Alkamil yang bersedia mencalonkan diri menjadi calon Ketua Alkamil. Luar biasa! Delapan kandidat menyatakan diri bersedia menjadi nakhoda kapal Alkamil yang telah lama menepi di dermaga. Hingga delapan kandidat ini menyatu menjadi calon ketua dan calon wakil ketua sehingga diputuskan terdapat empat pasangan calon ketua dan wakil ketua Alkamil.
Filosofi kegiatan memancing bisa dianalogikan dalam kegiatan Pilkamil masa kini. Setiap pasangan memiliki kail masing-masing untuk memperoleh minat pemilih dari seribuan orang yang telah menjadi anggota Alkamil sejagad raya. Dengan kail itu, setiap calon dipersilakan berekspresi dan menunjukkan kualitas masing-masing dalam memainkan kail. Mereka bebas menggunakan umpan berupa ide, gagasan, sikap yang berkelas, kemampuan retorika, serta kemampuan merangkul dan menarik hati para pemilih.
Euforia Pilkamil pun bergejolak. Setiap angkatan dan setiap orang punya pilihan masing-masing. Bagai sungai yang tenang, mulai beriak kembali. Setiap rasa mulai mencuat ke permukaan. Bahkan, kepedulian yang dulu sempat tidur panjang, mulai bangun dari lelapnya dan turut serta dalam euforia.
Para pendukung saling mengunggulkan pilihan masing-masing. Tak jarang juga selisih faham dan perdebatan panjang dan runyam ikut menyertai kegiatan Pilkamil. Risiko sebuah gejolak. Tentu saja ini sebuah hal yang lumrah. Akan tetapi, ketegangan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Para kandidat calon dan para pendukung kembali saling berangkulan dan saling bermaafan sehingga rasa maaf ini menjadi penawar di tengah luka-luka kecil yang sempat menganga. Ini adalah sebuah prestasi. Nurul Ilmi lewat yayasan dan guru-guru kita tak pernah mengajarkan kita untuk bertikai. Kita justru diajarkan untuk menerima perbedaan dan menyatukan harapan untuk masa depan Alkamil yang lebih indah.
Hai, Kawan!
Mainkan kailmu dengan bijak. Jika kailmu memperoleh banyak hasil, maka rendah hatilah. Namun, jika kailmu tidak memperoleh banyak hasil, maka berbesar hatilah.
Dengan adanya Pilkamil, semoga niat baik kita untuk memajukan alumni dan Nurul Ilmi, Allah beri kemudahan. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Rap marsitukkol-tukkolan songon suhat di robean..
Salam
-Tinta Pena Alkamil-