Riausastra.com – Foto ini kuabadikan awal November 2020 saat selesai menghadiri acara Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) ke-3 di Jakarta. Saat berangkat dari Pekanbaru menaiki maskapai ternama di negeri ini cukup memberi kepuasan tersendiri dari segi pelayanan dan kenyamanan. Begitu juga saat akan pulang ke Pekanbaru, aku tetap menggunakan maskapai yang sama sebagai salah satu fasilitas yang diberikan oleh Kemendikbud bagi peserta MUNSI-3.

Ketika masih harus menunggu jadwal boarding, aku iseng mengambil foto ini dari ruang tunggu untuk kukirimkan buat si kecil yang sudah tak sabar menunggu kepulanganku. Jadwal keberangkatan pun tiba. Para teknisi di lapangan memberi instruksi lewat gerakan isyarat kepada pilot untuk segera menjalankan pesawat menuju landasan sambil mereka beri lambaian tangan sebagai pertanda selamat jalan. Pesawat bergerak perlahan-lahan sampai pada laju kecepatan tinggi untuk segera lepas landas. Dengan izin Allah, di tengah kencangnya lari pesawat, tiba-tiba pesawat berhenti mendadak alias gagal take off. Semua penumpang panik, demikian juga para pramugari. Pilot segera mengumumkan bahwa pesawat sedang mengalami permasalahan operasional. Akhirnya penumpang dievakuasi dengan bus bandara dan kembali diarahkan menuju ruang tunggu Soeta. Masih dengan kepanikan, semua orang segera mengaktifkan telepon dan menghubungi anggota keluarga masing2.
Hampir tiga jam menunggu jadwal dengan keputusan “ganti pesawat”, aku berkenalan dengan seorang dosen Undip yang usianya sekitar sepuluh tahunan dariku. Beliau berniat mengunjungi ibunya yang sedang sakit di Pekanbaru. Perbincangan kami tidak jauh-jauh masih seputar kepanikan saat pesawat gagal take off.
“Allah masih beri kita kesempatan untuk melanjutkan niat baik kita masing-masing ya dek. Mbak juga sudah rindu sekali jumpa sama ibu mbak,” ucapnya dengan rona antara sedih dan bahagia.
Ah, kematian memang selalu mengintai kapan saja. Tak pernah mengenal apakah diri sudah siap atau belum. Jika perjanjian telah sampai, tak ada yang dapat menunda.
Akhirnya, tiba juga di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Ingatan tentang cerita mbak dosen masih terngiang dalam hati tentang niat baik bertemu dengan ibu. Ah, aku juga sudah setahun lebih tak bersua dengan ibuku. Aku rindu dan ingin segera memeluknya. Aku pun bertekad dalam hati. Seandainya Allah memberi rezeki dalam waktu dekat, aku juga akan segera mengunjungi ibuku.
Dan ternyata benar, niat baikku segera Allah ijabah. Bulan Desember lalu aku menerima hadiah dari lomba menulis. Dengan bekal hadiah tersebut, perjalanan pulang kampung untuk bersua dengan ibunda tercinta Allah beri kemudahan. Masya Allah, sebuah anugerah yang harus kusyukuri banyak-banyak.
Hari ini, kabar duka menyelimuti keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air. Aku percaya, seluruh korban pasti memiliki niat baik yang mereka bawa pergi untuk selamanya. Semoga setiap niat baik mereka Allah jadikan sebagai pemberat timbangan kebaikan mereka saat di yaumul hisab nanti..
Aamiin yaa Rabbalalamiin
Selamat jalan saudara-saudaraku..
“Kematian adalah nasihat terbaik”
Pekanbaru, Januari 2021