Jangan, janjikan cinta yang biru
Bila kau hanya bermanis-manis di bibir
Jangan, bisikkan rindu yang semu
Bila kau hanya menabur luka di hati
Riausastra.com – Kudengarkan sepenuh hati bait demi bait milik Pance Pondang dengan judul Di Saat Kau Harus Memilih. Isi lagu ini sepertinya benar-benar mewakili perasaanku. Tak mampu kuungkapkan lewat kata-kata layaknya penyair. Akan tetapi, air mata ini telah mewakili bahasa hati. Hati yang luka, tepatnya.
Kupandangi setiap sisi kamar rumah panggung ini. Celahnya membiarkan angin malam merasuk perlahan. Kubiarkan kedua daun jendelanya terbuka lebar. Aku benar-benar tak ingin mengunci diri dalam ruangan mungil ini. Karenanya, langit berbintang di atas sana seolah-olah menemani sunyinya hatiku. Cerita cinta di langit biru, kini telah berganti cinta di langit kelam. Aku menangis.
Semakin kupendam dalam dasar hatiku, semakin dalam luka yang kurasakan. Aku beranjak dari tempat tidur kayu usang ini. Kukunci jendela kamar ini. Menuju kamar mandi di belakang rumah, kusempatkan mengintip dua buah hatiku yang telah pulas di kamar sebelah. Ada hiba menatap wajah keduanya. Aku tak mau membiarkan rasa sedih ini kian menguasaiku. Segera kubasuh wajah lusuhku. Berharap dosa-dosaku pudar dari pandangan dan lisan. Kubasuh tangan, telinga, kepala, dan kaki. Berharap segala dosa yag kuperbuat dari padanya segera sirna.
Kularutkan jiwaku dalam qiyamullail. Kupasrahkan segala rasa ini pada Dia Yang Maha Sempurna. Dan kutahu, pada-Nya terasa damai hatiku.
***
“Mak, Kakak dapat piala juara satu acara hari guru dari Dinas Pendidikan,” cerita anak perempuanku yang masih duduk di kelas lima SD ini. Matanya berbinar, senyumnya mekar merekah.
“Oh, ya? Kakak ikut lomba apa, Kak?” tanyaku turut bahagia dengan prestasi putriku sembari kupeluk dan kukecup pipinya.
“Kakak ikut lomba menulis puisi, Mak. Setelah ditulis baru dibacain di depan juri,” jawabnya ceria.
“Coba, bacakan buat Mak puisi Kakak tadi,” pintaku. Segera kucari posisi duduk demi melihat bakat emas milik Nadya, gadis sulungku.
“Mak panggillah nama Kakak macam protokol acara tadi,” pintanya.
“Baiklah… Acara selanjutnya, puisi persembahan dari Ananda Nadya…,” sambutku menirukan para presenter kondang.
“AYAH,” Ucap Nadya menyebut judul puisi yang telah ia rangkai sendiri. Aku tersentak. Darahku berdesir. Dengan penuh pengkhayatan, ia bacakan puisi itu untukku.
“AYAH”
Kulihat ombak di Pantai Rupat yang memesona
Ombak berkejar-kejaran menuju pantai
Padanya ada ombak besar beserta ombak-ombak kecil
Bagiku, ombak adalah keceriaan ayah yang bermain bersama anak-anaknya
Ayah,
Terima kasih telah membiarkanku terlahir ke dunia
Meski jarang kita bersua, aku berharap cintamu salalu ada untukku
Terima kasih telah menyematkan namamu pada namaku
Aku berharap, engkau tak pernah melupakanku
Untuk sebuah nama,
Ada rindu yang tak pernah pudar
Sampaikanlah padanya: ayahku
“Yeeeey,” Nadya bersorak setelah menyudahi puisinya.
Aku tersenyum bangga padanya. Kuacungkan jempolku padanya sebagai pertanda betapa hebatnya dia di mataku. Nadya duduk di pangkuanku, lalu memelukku.
“Kenapa Mak menangis?” tanya Nadya polos.
Aku hanya diam sambil kuusap air mata yang tak terbendung ini.
“Mak rindu Bapak, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Nadya juga rindu Bapak,” ucapnya.
Piala dan penghargaan kupajang di atas meja di dekat tivi yang telah kehilangan siaran. Suatu hari nanti, ketika suamiku pulang, semoga ia menyadari betapa anak-anaknya sangat mencintainya, seperti aku yang masih mencintainya.
***
Cinta adalah getaran jiwa sebagai aplikasi rasa kasih sayang terhadap seseorang yang dicintai. Betapa lihainya aku mendifinisikan cinta. Cinta yang kubangun semenjak sah menjadi pasangan lelaki berwajah manis ini. Dia suamiku. Kami menyatukan hati atas dasar suka sama suka dan melabuhkan cinta kami di pelaminan.
Aku sadari, pada masa dua belas tahun yang lalu, menjadi ratu sehari adalah kebahagiaan teristimewa di hidupku. Merenda hari demi hari bersama belahan jiwaku, sampai kami dikaruniai dua buah hati. Kuakui, kehidupan kami sangat jauh dari kata cukup. Tinggal di desa dengan penghasilan yang lebih rendah daripada pendapatan. Sebelas tahun kondisi ini kami jalani bersama. Ketiadaan harta membuat kami tak merasakan minus kebahagiaan. Hingga akhirnya, suamiku memutuskan untuk merantau ke kota demi mewujudkan mimpi-mimpi indah kami
“Dek, Abang merantau ke pulau seberang. Mencari langit-langit malam yang benderang. Dengan dayaku beriring doamu, semoga aku mampu memetik dua tiga buah bintang. Suatu hari akan kubawa untukmu dan untuk anak-anak kita,” janjinya padaku di bawah pohon kelapa di bibir Pantai Rupat. Desiran angin pantai menjadi saksi. Atas dasar cinta, aku menaruh rasa percaya padanya, suamiku.
Bulan berganti bulan. Komunikasi antara dia denganku dan anak-anak cukup lancar. Bintang yang ia janjikan, tetaplah mengalir untuk kami cicipi di rumah panggung ini. Meski hanya kepingan-kepingan kecil saja, akan tetapi rasa syukurku tak pernah pudar sebab ini yang kusebut dengan cinta.
Berhari-hari kupahamkan anak-anakku ketika mereka selalu bertanya tentang ayahnya. Aku mengerti sekali, di usia mereka saat ini adalah usia emas yang masih butuh belaian kasih sayang seorang ayah.
“Adek ingin bermanja-manja sama Bapak, Mak. Macam teman-teman Adek,” ucap anak bungsuku suatu hari. Kembali kubangun rasa optimis dalam diriku dan diri anak-anak agar kelak mereka tumbuh menjadi anak-anak yang kuat dan tegar. Barangkali, ujian kerinduan hanyalah setitik dari banyaknya ujian yang ada di dunia ini.
“Kita harus bersabar ya menunggu Bapak pulang. Bapak sedang berjuang untuk kita di rantau orang,” kalimat pamungkas ini selalu menjadi penguat untuk anak-anakku. Terinspirasi dari janji-janji di langit biru. Tentu ada harapan di sana.
***
Akhir-akhir ini suamiku mulai jarang mengontak kami. Hampir enam bulan merasakan jarak jauh. Aku tetap berpikir positif. Barangkali dia sangat sibuk. Demi menggapai bintang di langit yang lain. Semakin lama perasaanku makin tak enak. Ada rindu yang mengendap dalam hatiku. Suamiku semakin sulit dihubungi. Tak hanya berbagi soal rindu ini, bahkan tentang atap seng yang sudah bocor parah dan tentang pintu-pintu rumah yang mulai lapuk dimakan rayap, sudah enggan didengarnya. Aku tak tahu apakah ia bosan mendengar setiap keluhan ini? Atau ia jenuh dengan kondisi yang belum juga bersinar seperti bintang.
Mulai curiga, aku mengajak kedua anakku menuju pulau seberang. Kucalari jalanan kota yang ramai. Akhirnya aku menemukan alamat suamiku. Ia berjualan es campur. Betapa kagetnya suamiku saat mendapati kami hadir di hadapannya. Ia tak pernah mengira bahwa aku akan senekat ini untuk menemuinya. Sungguh, semua ini karena cinta.
“Koq, kalian ke mari? Nggak liat ya Bapak kan lagi sibuk?” dia menahan amarah. Tampak sekali ia kesal dengan kehadiran kami.
“Kami rindu sekali sama Bapak,” jawab Nadya polos.
“Iya, Pak, kami rindu,” sambungku meyakinkan.
“Sudah tau duit tidak ada, masih juga kalian hambur-hamburkan untuk ongkos ke mari!” suamiku benar-benar marah. Aku sangat tak menyangka sikapnya.
“Siapa ini, Bang?” seorang wanita berumur empat puluhan menghampiri kami dan segera menggandeng manja tangan suamiku.
Betapa kagetnya aku. Aku mulai pitam.
“Aku istrinya. Kenapa seenaknya kamu pegang-pegang suamiku?” balasku ketus.
“Oh, ini bini pertama Abang? Jelek dan kampungan ya? Pantas saja Abang berpindah hati ke aku,” ucapnya dengan nada centil.
“Apa? Siapa perempuan ini, Bang? Aku nggak terima!” aku meraung keras menahan gejolak di dadaku.
“Sudah, pulang sana. Kalian bikin malu saja datang ke mari!” ujar suamiku sambil mengusir kami.
Kupandangi lautan yang tenang dari atas kapal roro yang membawa kami menyeberang menuju Pulau Rupat. Air bening yang berjatuhan tanpa jeda tak mampu kuhentikan. Angin mengusap lembut pipiku. Tapi tak mampu mengusap luka di hatiku. Sungguh betapa terpukulnya aku.
***
Berulang kali kujemput suamiku agar ia pulang ke rumah kami. Berkumpul bersama anak-anak seperti dulu. Bersama-sama menikmati hangatnya mentari dan sejuknya hujan. Kebersamaan ini pasti lebih indah dari pada dua tiga bintang yang kita damba, namun harus ada rembulan yang dominan sinarnya di sana. Berkali-kali kupahamkan suamiku. Tentang anak-anak, tentang masa depan, tentang pernikahan kami dua belas tahun lalu, tentang luka-luka yang kian menganga di hatiku. Tapi, apalah dayaku. Aku tetap tak dianggap oleh lelaki yang dulu selalu membisikkan cinta di telingaku ini. Tersayat, sudah tak perih lagi bagiku. Rasa malu telah pudar di wajahku. Aku mulai kebal dan bebal.Harapanku hanya satu, aku ingin suamiku kembali ke kehidupanku.
“Sudahlah Rina, aku tetap memilih untuk tetap di sini. Aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku putuskan untuk tetap di sini!” jawabnya. Sebuah keputusan yang menghancurkan seluruh kekuatanku.
Di Pantai Rupat yang indah, aku duduk sendiri. Betapa nyaringnya desiran ombak ini. Meski tak berirama, tapi alunannya telah mendamaikan hatiku. Inilah kisahku. Kisah yang kubagi hanya pada senja di Pantai ini. Janji manis telah luruh. Tinggal aku yang hanya merindu, mendamba kau segera pulang. Marah pada keadaan bukanlah solusi. Hanya pada Allah kusandarkan segalanya. Meski belum kutemui ending dari rasa perih ini, aku yakin Allah sedang mempersiapkan kado istimewa atas sabar ini. Semakin kurasakan perih di hatiku, semakin kusadari bahwa cinta sejati itu letaknya di hati dan bukan dipersembahkan untuk sosok manusia. Cinta sejati itu letaknya di hati, terpatri karena ALLAH. Jika telah karena-Nya, aku percaya takkan ada kata kecewa.
“Mak… balik kita lagi? Sudah senja,” kedua buah hatiku menghampiriku setelah mereka letih bermain. Mereka memeluk erat tubuhku.
Mereka pun berbisik,”Kami sayang Mak.”
Aku tersenyum di antara air mataku.
Catatan : Cerpen ini dimuat di Lancangkuning.com, media online terverifikasi Dewan Pers. pada tanggal 22 Desember 2020