Riausastra.com – Permainan rakyat milik masyarakat Provinsi Riau merupakan bagian dari tradisi lisan yang dimainkan secara tradisional dan disebarkan melalui lisan dari generasi ke generasi. Tidak hanya menggunakan alat, permainan rakyat tetap bisa diekspresikan lewat gerakan tubuh, nyanyian, dialog, dan lain-lain. Dari ekpresi-ekspresi tersebut menunjukkan adanya interaksi sosial ketika melakukan permainan. Danandjaja (2007:171) mengatakan bahwa permainan rakyat merupakan bagian dari folklor karena diperoleh melalui warisan lisan.
Latar Belakang
Keberadaan permainan rakyat di tengah-tengah masyarakat Riau tidak hanya sebatas hiburan yang menyenangkan, khususnya bagi anak-anak. Adanya keinginan masyarakat untuk melakukan permainan rakyat merupakan sebuah karunia besar karena permainan rakyat adalah salah satu dari aset budaya yang harus dijaga agar tetap lestari.
Kehadiran era industri 4.0 pada masa kini, ditandai dengan perkembangan digitalisasi yang menyentuh segala aspek kehidupan. Seperti uraian Friedman, Ritzer, dan Toffler (via Prasetyo, 2020:24) perkembangan teknologi yang melahirkan era revolusi industri 4.0, yang tidak hanya sekadar membuka interaksi secara luas namun juga mendisrupsi berbagai bidang kehidupan manusia. Akan tetapi, perkembangan digitalisasi tidak selalu memudahkan semua urusan manusia. Permainan dalam versi digital sebagai wujud dari produk era industri 4.0 telah memberikan pengaruh besar pada kepunahan permainan rakyat. Maka, era industri 4.0 pada hal ini menjadi sebuah tantangan sekaligus ancaman.
Berkurangnya penyebaran permainan rakyat di Riau dapat disebabkan beberapa faktor, seperti: faktor ekologi, faktor ekonomi, dan faktor digitalisasi. Merujuk pada faktor ekologi, permainan rakyat pada hakikatnya menjadikan alam terbuka sebagai sarana untuk mengekspresikan permainan rakyat. Latar terbaik adalah lapangan luas sehingga lebih leluasa melakukan gerakan melompat, berlari, berjalan, berdialog, dan lain-lain. Selain itu, alam menjadi sarana paling mudah untuk menemukan perlengkapan dalam memainkan permainan. Seperti prinsip orang Melayu bahwa alam terkembang menjadi guru. Artinya, segala yang ada di alam mengandung ilmu dan pelajaran berharga bagi manusia.
Akan tetapi, kondisi ekologi di Provinsi Riau mulai mengalami degradasi yang ditandai dengan kerusakan lingkungan. Menurut Anwar (2020:151) kerusakan lingkungan didefinisikan sebagai proses kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan. Kerusakan lingkungan ditandai dengan hilangnya sumber daya alam yang meliputi tanah, air, udara, punahnya tumbuhan dan satwa liar, dan kerusakan ekosistem. Dengan adanya permasalahan ekologi, menjadikan interaksi antara masyarakat Riau dengan lingkungan semakin terbatas. Keinginan masyarakat untuk mengeksplor permainan rakyat yang difasilitasi alam pun mulai menurun.
Faktor ekonomi turut serta menjadi pemicu menurunnya penyebaran permainan rakyat di Riau. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan mata pencaharian masyarakat yang semula bergantung pada alam melalui pertanian, ladang, mencari ikan, serta meramu hutan mulai beralih menjadi pekerja pabrik, buruh bangunan, pegawai negeri, dan lain-lain. Kesibukan orang tua dalam bekerja mempengaruhi waktu bermain untuk memainkan permainan rakyat sehingga saat ini sulit menemukan waktu senggang anak-anak untuk bermain.
Faktor digitalisasi mewarnai era posmodernisme di masa industri 4.0. Maraknya penggunaan teknologi dan informasi menjadikan masyarakat memiliki budaya baru, yaitu kehidupan konsumerisme yang menjadikan nilai tukar lebih dominan dibandingkan dengan nilai guna. Baudrillard dalam Piliang (2013:17) mengungkapkan bahwa adanya ekstasi yang mempengaruhi masyarakat modern, yaitu semacam kemabukan yang melanda masyarakat kontemporer dalam komunikasi, komoditi, konsumsi, hiburan, seksual, dan politik. Jika dihubungkan dengan selera masyarakat dengan permainan rakyat, ternyata permainan dengan menggunakan gawai jauh lebih memikat hati masyarakat. Hal ini menjadi faktor yang menjadikan permainan rakyat dianggap sebagai permainan tradisional yang ketinggalan zaman. Bahkan, aplikasi dalam gawai yang disokong oleh internet, mampu memindahkan permainan rakyat ke dalam benda bernama gawai.
Teknologi dan komunikasi tetap memfasilitasi masyarakat untuk bermain dengan menggunakan permainan rakyat. Akan tetapi, permainan dengan media gawai memutus interaksi sosial masyarakat serta mematikan ekspresi anak-anak (meloncat, bernyanyi, berdialog, bercanda, berlari, dan lain-lain) karena dua hal ini tidak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi masa kini.
Menurunnya penyebaran permainan rakyat di Riau tentu saja mempengaruhi interaksi sosial masyarakat yang terdiri dari keberagaman suku, adat istiadat, agama, bahasa, dan lain-lain. Masyarakat asli Provinsi Riau dan adat istiadat yang berkembang dan hidup di Provinsi Riau adalah adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakatnya bersendikan Syariah Islam. Akan tetapi, penduduknya sangat majemuk dan terdiri dari suku Melayu Riau, suku Sakai, suku Talang Mamak, suku Akit dan berbagai suku lainnya, seperti: Bugis, Banjar, Mandailing, Batak, Jawa, Minangkabau, dan China (www.slideshare.net).
Perlu diketahui bahwa interaksi sosial menjadi sarana untuk menggalang persatuan lewat pembauran dalam permainan rakyat. Penurunan interaksi sosial anak-anak sebagai cikal bakal masyarakat dewasa akan memberi efek pada nilai persatuan dalam kebhinnekaan. Lalu, apa yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat terhadap kelestarian permainan rakyat sebagai wujud dari persatuan kebhinnekaan?
Lewat tulisan ini, permainan rakyat Riau dijadikan sebagai upaya dari persatuan kebhinnekaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendeskripsikan jenis-jenis permainan rakyat beserta fungsinya dan permainan rakyat Riau sebagai nilai persatuan dalam kebhinnekaan.
Analisis terhadap permainan rakyat Riau untuk mengungkap nilai persatuan dalam kebhinnekaan bertujuan untuk menggalakkan kembali permainan rakyat Riau serta menginformasikan kepada masyarakat bahwa permainan rakyat Riau memiliki nilai penting sebagai pemersatu bangsa.
Adapun manfaat yang akan diperoleh dari tulisan ini adalah menghidupkan kembali tradisi lisan permainan rakyat Riau sebagai upaya membangun interaksi sosial masyarakat pada era industri 4.0. Dengan adanya interaksi sosial yang sehat akan mewujudkan rasa persatuan meskipun dalam kemajemukan. Selain itu, permainan rakyat yang merupakan kearifan lokal budaya Melayu Riau menjadi solusi yang adaptif dan kreatif untuk mewujudkan pembauran kebangsaan. Dengan demikian, masyarakat Riau yang heterogen akan menjadikan permainan rakyat sebagai cara untuk meminimalisasi adanya konflik perbedaan.
Hasil Dan Analisis
Beberapa permainan rakyat berikut pernah populer pada masanya. Akan tetapi, di beberapa tempat permainan ini masih bertahan. Melalui beberapa jenis permainan rakyat berikut akan diuraikan bentuk, fungsi, serta nilai kesatuan yang dikandungnya dengan menggunakan metode deskriptif.
- Bentuk Permainan Rakyat Riau
Permainan rakyat Riau yang dibatasi pada beberapa permainan, seperti: gasing, perang, setatak, yeye, layang-layang, dan engrang diuraikan bentuknya dengan melihat ciri-ciri permainan serta teks dan konteks yang mendukung permainan seperti diuraikan berikut:
Nama Permainan | Peralatan dan ciri-ciri | Peserta Permainan | Cara Bermain |
Lomba gasing | Gasing terbuat dari kayu kempas, kemuning, merbau, rambai, bebaru, durian atau kundang yang bentuknya dibuat bulat seperti labu. Bagian atasnya dibuat seperti jambul untuk melilitkan tali sedangkan pada bagian bawahnya dibuat runcing untuk mengangkat gasing saat berputar. Tali gasing terbuat dari kulit kayu bebaru atau benang nilon. | Terdiri atas perorangan dan biasanya dilakukan anak laki-laki karena permainan ini membutuhkan tenaga yang lebih besar | Tali dililitkan di bawah jambulnya hingga sampai ke badan gasing. Lalu, gasing dilepaskan secara kuat dari talinya hingga gasing berputar kencang di atas tanah. Pemenang merupakan gasing yang paling lama berputar dan tidak melewati batas. |
Main perang | Lapangan yang bisa dijadikan sebagai arena untuk berlari mengejar dan dikejar lawan. Arena tersebut terdiri atas benteng yang ditandai dengan garis kecil, sedangkan arena di luar benteng dianggap sebagai arena perang | Berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas satu benteng | Keluar dari benteng secara satu lawan satu dan berlari mendekati benteng lawan. Aksi saling mengejar dan upaya untuk menguasai benteng lawan sehingga yang tertangkap oleh lawan akan dianggap mati dan tidak boleh ikut permainan. |
Setatak | Peralatan yang digunakan kayu atau benda keras yang bisa digoreskan pada tanah sehingga membentuk gambar kotak-kotak berbentuk lurus atau berbentuk orang. Peralatan lainnya disebut dengan ucak dsri pecahan piring, tempurung kelapa, dan lain-lain. | Dimainkan sekitar dua sampai empat orang. | Setiap orang bisa melompat pada bagian setatak kecuali pada kotak tempat ucak berada. Bagi yang tidak bisa melemparkan ucak tepat pada kotak tujuan atau salah meletakkan posisi kaki, maka harus bergantian dengan teman yang lain hingga tiba giliran kembali. Apabila telah sampai padai kotak paling timhhi, maka pemain dipersilakan melemparkan ucak dengan posisi membelakangi setatak. Apabila ucak tepat dalam sebuah kotak akan menjadi bintang bagi si pemain dan si pemilik bintang bisa memijakkan kedua kakinya pada kotak yang terdapat bintang miliknya. |
Yeye | Yeye terbuat dari karet gelang yang dijalin menjadi tali panjang | Bisa dimainkan perorangan dan berkelompok oleh anak perempuan. | Karet dimainkan dengan cara diputar atau dibuat dalam bentuk merdeka. Dua orang yang menjadi penjaga akan memutar atau memegang karet, lalu satu orang atau lebih akan melompati karet dengan berbagai gaya yang disepakati bersama. |
Layang-layang | Terbuat dari kertas atau plastik. Alat lainnya berupa benang, lem, dan bambu. Harus dilakukan di lapangan dan pada musim angin kencang. | Dimainkan secara perkelompok karena ada yang bertugas memegang layang-layang saat akan dinaikkan serta ada yang bertugas menganjung layangan. | Layangan dianjung hingga ditiup angin. Dari tanah lapang, pemain harus memperhatikan gerak layang-layang agar tidak bergesekan dengan layangan orang lain serta harus lihai mengarahkan layangan agar tidak putus. |
Engrang | Terbuat dari dua batang buluh atau bambu panjang. Pada bagian pangkal bambu diberikan tapak sebagai tempat berpijak pemain. Lebar tapak sekitar 20-30 cm. | Dimainkan perorangan atau berkelompok, anak-anak dan orang dewasa, serta laki-laki dan perempuan. | Peserta menaiki bambu dan berjalan cepat menuju finish. Peserta yang paling awal sampai dianggap pemenang. |
- Fungsi Permainan Rakyat Riau sebagai Upaya Persatuan
Permainan rakyat Riau memiliki banyak fungsi, di antaranya menyatukan kebhinnekaan melalui pembauran kebangsaan. Artinya, permainan rakyat yang disebutkan di atas memberikan ruang seluas-luasnya bagi para seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang adat istiadat agama, etnis, suku, bahasa, dan lain-lain. Perbedaan akan melebur menjadi rasa kesatuan yang timbul karena adanya kebersamaan dalam satu tim permainan, meskipun tetap ada yang menjadi kawan maupun lawan. Permainan rakyat tidak hanya menyenangkan dan menjadi hiburan pada waktu-waktu senggang, namun berfungsi juga mengekspresikan perasaan dan mengeksplorasikan kemampuan dalam menyelesaikan tantangan dalam permainan. Selain itu, adanya rasa tanggung jawab dan mengakui kehebatan lawan, serta belajar membangun strategi jitu dalam tim untuk meraih kemenangan. Dengan permainan rakyat, rasa kebersamaan dan melatih kecerdasan anak akan semakin terasah. Kualitas anak yang bermain dengan menggunakan permainan rakyat sungguhan akan lebih baik secara emosional dan spiritual dibandingkan dengan anak yang bermain lewat gawai.
Fungsi di atas hampir sama dengan fungsi yang dikemukakan oleh Stone (1995) via Sustiawati (2012:24) bahwa permainan merupakan sarana untuk membantu pertumbuhan sosial anak. Dalam bermain anak-anak akan belajar bernegosiasi, memecahkan konflik, permasalahan, bertenggang rasa, berlatih bersabar, bekerja sama, tolong menolong dan sebagainya. Permainan juga dapat membantu perkembangan emosi anak (Storm dan Stone,1995).
- Nilai Kesatuan dalam Kebhinnekaan pada Permainan Rakyat Riau
Dari berbagai contoh permainan rakyat Riau yang telah diuraikan di atas, maka ditemukan nilai kesatuan dalam kebhinnekaan. Adapun nilai kesatuan tersebut merupakan wujud dari pembauran kebangsaan sesuai dengan Peraturan Menteri dalam Negeri tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah Nomor 34 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Penyelenggaraan pembauran kebangsaan adalah proses pelaksanaan kegiatan integrasi anggota masyarakat dari berbagai ras, suku, etnis, melalui interaksi sosial dalam bidang bahasa, adat istiadat, seni budaya, pendidikan, dan perekonomian untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia tanpa harus menghilangkan identitas ras, suku, dan etnis masing-masing dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai kesatuan telah lama menjadi bagian dari sikap masyarakat Riau. Sikap ini ditunjukkan masyarakat lewat tunjuk ajar yang dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap. Tunjuk ajar Melayu tidak terlepas dari ajaran agama Islam sebagai agama cinta damai dan menghargai perbedaan. Seperti ungkapan Tenas Effendy (2001) via Salba (20017:2) mengemukakan bahwa agama Islam telah menjadi roh Orang Melayu Riau: “Dahulu, karena kentalnya persebatinan Melayu dengan agama Islam, menyebabkan tidak ada kekuatan yang dapat memisahkan antara dunia Melayu dengan dunia Islam. Bahkan di dalam ungkapan adat dikekalkan prinsip Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah atau dikatakan: Adat sebenar adat ialah Quran dan Sunnah Nabi. Azaz inilah yang selama ratusan tahun menjadi tiang utama untuk menyatukan dunia Melayu dalam menghadapi berbagai cobaan. Azaz inilah yang menyebabkan kemelayuan tidak akan hilang dari muka bumi seperti yang dikatakan Hang Tuah.”
Untuk menjaga kesatuan dalam kebhinnekaan bangsa pada era digital yang memungkinkan rawan konflik seperti saat ini, Provinsi Riau membentuk Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Riau sesuai dengan Permendagri Nomor 34 Tahun 2006 ayat 4 yang menjelaskan tentang FPK dan fungsinya, yaitu: “Forum Pembauran Kebangsaan yangselanjutnya disingkat FPK adalah wadah informasi, komunikasi, konsultasi, dan kerjasama antara warga masyarakat yang diarahkan untuk menumbuhkan, memantapkan, memelihara dan mengembangkan pembauran kebangsaan.”
FPK mejadi wadah untuk menjaga kesatuan bangsa, sedangkan menghidupkan permainan rakyat adalah satu cara untuk menjaga kesatuan. Permainan gasing, perang, setatak, yeye, layang-layang, dan engrang memiliki peran besar dalam menjaga persatuan. Hal ini tampak pada saat melakukan permainan rakyat, para pemain tidak pernah memberi batasan harus sama dalam agama, suku, etnis, seni budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Semua pemain harus membaur tanpa memandang status sosial dan latar belakang.
Selanjutnya, selama membuat kesepakatan saat melaksanakan permainan rakyat, maka yang menjadi fokus adalah menjaga kekompakan tim, bersama-sama membangun tim, mematuhi peraturan permainan, saling mengekspresikan kemampuan, juga bersama-sama membuat strategi untuk menang.
Kesimpulan
Permainan rakyat Riau adalah sebuah kekayaan budaya lokal yang harus dijaga dan dihidupkan kembali setelah munculnya euforia penggunaan gawai pada era digital 4.0. Keseruan dalam memainkan permainan rakyat tidak akan sama dengan permainan dengan menggunakan gawai karena dalam permainan rakyat, seluruh tubuh benar-benar ikut bermain, sedangkan pemainan menggunakan gawai sejatinya bermain dalam angan-angan dan imajinasi.
Lewat permainan rakyat, nilai kesatuan dalam kebhinnekaan akan melekat kuat dan pembauran kebangsaan akan terwujud sesuai dengan harapan pemerintah. Dengan demikian, FPK Provinsi Riau sudah selayaknya memfasilitasi masyarakat dari aspek perlengkapan, pembinaan, bahkan pendampingan tentang pembauran kebangsaan di Provinsi Riau dengan cara kembali menggalakkan permainan rakyat. Akan menjadi sebuah pemandangan yang harmonis saat melihat anak-anak Melayu berbaur dengan anak-anak Minang, Batak, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain. Maka, prinsip Bhinneka Tunggal Ika akan mendarah daging di Provinsi Riau dan akan memberikan pengaruh besar hingga ke seluruh negeri.
***
Tulisan ini menjadi pemenang 1 pada Lomba Karya Tulis Pembauran Kebangsaan yang Ditaja oleh Forum Pembauran Kebangsaan Provinsi Riau Tahun 2020