Pict : Internet

Negeri yang Menciptakan Tarian Air Mata

Apa kabar pagimu, Kawan?
Kuharap kau masih selera menyantap sarapanmu,
menghapus jejak makanan di atas piringmu
Di saat yang lain, dapurnya tiada lagi berasap

Apa kabar cangkir-cangkir kopimu, Kawan?
Kuharap sebelum kopimu dingin,
aromanya masih sempat kau nikmati
Di saat yang lain, tak lagi sempat memikirkan camilan ringan

Apa kabar di kotamu, Kawan?
Kuharap kau masih bisa membelanjakan hartamu,
dan bebas memilih toko yang membuat rasa nyamanmu menyeruak
Di saat yang lain, mematung di sudut-sudut pasar yang sunyi

Apa kabar anak cucumu, Kawan?
Kuharap senyum mereka masih kerap kali menghadirkan tawamu,
menemani petangmu untuk bersua senja
di saat yang lain, tak ingat lagi menimang anak sebab perut telah lama bicara

Apa kabar duniamu, Kawan?
Dia yang kecil mungil telah menguji nyalimu
Hartamu, jabatanmu, dan wanitamu telah lama membuatmu merasa besar
Tapi saat yang kasat mata menyapa
Kisut sudah angkuhmu
Ciut pula keperkasaanmu

Dimana-mana orang sibuk menyebut satu nama
Rasa takut dan rasa hampa berlomba mengisi imajinasi
Ketika “karantina wilayah” mengunci langkahmu
“Aku bosan!” teriakmu
Telingamu seakan pekak oleh jenuhmu sendiri
Hingga tak sempat melintasi nyanyian tragis orang lain
Dalam kegelapan,
“Kami lapar,” jerit batin mereka

Pada satu purnama yang kelabu
Kau cengkram jemari waktu
Berharap semua segera pulih
Namun, mereka yang garis tangannya tidak manis sepertimu
Mencengkram nyawa waktu
Hingga akhirnya berhenti berharap,
Sebab: mati dalam kelaparan
Lalu, ada yang tak jadi mati
Sebab, mutiara telah bersinar dari lubuk rasa para penderma

Hei, Kawan!
Satu dua jasad bertemu takdirnya
Tak sempat ada pesan perpisahan pada yang dicinta
Kain kafan tak lagi cukup membungkus kulit
Sebelumnya, paru-paru mereka tak lagi menggulirkan nafas seperti kemarin-kemarin
Tubuh yang kekar
Kini layu disentuh wabah tersembunyi

Di suatu negeri tercipta tarian air mata
Kaum papa dituding jadi miang penebar racun
Lalu, kaum papa itu hanya tersenyum
“Surga itu mahal,” kata mereka sambil membasuh dadanya dengan sabar

Panglima perang dan pasukan berani mati meringis
“Ingin menyerah, tapi perang belum usai,” ratap mereka
Semua berubah jadi petaka
Saling mengusik siapa salah
“Stststst!”
“Kaisar sedang lelap. Jangan berisik!”

Kucari-cari kawanku di bilangan matahari
Kuharap, dia baik-baik saja
Saat benar-benar terjepit,
Ternyata kita cuma butuh mengemas hati dan menyisakan tempat
Untuk DIA, yang abadi di balik kesendirian

13 KOMENTAR

  1. Beginilah hidup di dunia, miris sekali rasanya banyak timpang tindih dalam hal kesejahteraan. Tak sedikit yang mengalirkan sungai di pipi hanya untuk sesuap nasi 🙂

  2. Bagus sekali mba, ada perasaan sedih saat membacanya. Dari sudut pandang saya puisi ini tentang sahabat di dua sisi kehidupan yang berbeda. Tapi ending nya bikin penasaran.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini