Riausastra.com – Williem Iskandar memiliki nama Sati dengan gelar Sutan Iskandar. Beliau lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840. Ibunya bernama Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya bernama Raja Tinating, yang memiliki jabatan sebagai Raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, tepatnya tahun 1853, Sati masuk sekolah rendah selama dua tahun yang didirikan Alexander Philippus Godon yang bertugas sebagai Asisten Residen Mandailing Angkola, di Panyabungan.
Tahun 1855 Sati lulus dan diangkat menjadi guru di sekolahnya. Dengan usia yang tergolong masih sangat muda, yaitu 15 tahun, Sati dinobatkan menjadi guru formal termuda pertama dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di Kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya selama dua tahun menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon pada Februari 1857.
Pada tahun 1862, Williem Iskandar kembali ke Indonesia setelah memperoleh ijazah sebagai guru bantu dari Oefenshool Amsterdam yang dipimpin oleh D. Hekker Jr. Williem Iskandar berencana untuk mendirikan sekolah guru di Mandailing, tepatnya di daerah Tanobato menuju Pelabuhan Natal.
Selanjutnya, Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit kedua bertarikh 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool Tanobato.
Puisi Karya Williem Iskandar
Williem Iskandar senantiasa mencintai tanah kelahirannya, yaitu Mandailing. Meskipun Williem Iskandar pernah tinggal di Belanda, namun beliau senantiasa merindukan negerinya dan memberikan pesan moral kepada masyarakat melaui karya puisinya. Berikut isi puisi Williem Iskandar:
MANDAILING
O, Mandailing Godang,
Tano ingananku sorang,
Na niatir ni dolok na lampas,
Na nijoling ni dolok na martimbus,
Ipulna na laing bubus!
Tor Sihite tingon julu;
Patontang dohot tor Barerang
Gurung-gurungna manompi Lubu,
Bohina mangadap tu dolok Sigantang.
Muda Hutalihon tu utara,
Laho manindo tu irisannya,
Jongjong ma huida Lubuk Raya,
Asa manjoling dolok Malea.
Muda Hutindo tingon Bania,
Hutatap ma aek ni Batang Gadis,
Mangelduk-elduk dalannia,
Atir hamun jior marbaris.
Jaru pe ia aek na rara,
Na suntut godang jaotanna,
Tombal bondar panombar saba,
Tusi ma da muarana.
O na marsaba na bolak,
Muda disabur ho sajual same,
Dapot ho ma onom pulu jual mulak.
Ho ma na garang manggadis eme.
Na tumbur ma nian tanomu,
Tai laing tong do ho longang,
Jaru momo pe dibaen hosuan-suanon mangolu,
Inda ro halak tu ho mardagang
Aha ma rohai tue!
Dalanna so nada rami,
Anso Torang di rohanami.
Ia di Jae ni Batang Angkola,
Taringot tu Aek Godang,
Songon na muntul ia mulak,
Baon sompit boluson tu Batang Singkuang
Muda ro sirumondap udan,
Magodang ma batang ni aek,
Dibaon sompit hadabuan,
Jadi tu darat doma manaek.
I ma da, dongan, dalanna,
Anso Jadi bonca-bonca,
Holas na haruar tingon bagasnna,
Arun sajo do diobansa.
Adong halak ruar
Na mian di Panyabungan,
Tibu ia haruar,
Baon ia madung busungan,
Inda, ale hum i sajo,
Dalan ni jagal ngada manjadi
Tai adong dope dabo,
Tor Pangolat ngada tarbolus padati
Tai jaru songon i ba,
Dengganmu sai hurang,
Nada huparmuda ba,
Angke dison ma huida parjoloa ari torang.
Tinggal ma ho jolo ale,
Anta piga taon nada huboto,
Muda huida ho mulak muse
Ulang be nian sai maoto
Laho hita marsalak,
Marsipaingot dope au di ho,
Ulang lupa paingot danak,
Manjalahi bisuk na peto
Puisi di atas telah diterjemahkan oleh Basyral Hamidi Harahap ke dalam Bahasa Indonesia dalam bukunya “ Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-rumbuk” edisi dwibahasa cetakan 1989, sebagai berikut:
MANDAILING
O Mandailing Raya!
Tanah tempatku dilahirkan
Yang diapit gunung yang tinggi
Yang ditatap gunung berasap
Asapnya mengepul terus
Gunung Sihite di hulu
Berhadapan dengan Gunung Barerang
Punggungnya mendukung Lubu
Keningnya menghadap Gunung Sigantang
Jika kupandang ke utara
Sambil menatap ke timur laut
Kulihat tegak Lubuk Raya
Dan mengerling Gunung Malea
Jika kupandang dari Bania
Kulihat air Batang Gadis
Berkelok-kelok alirannya
Kiri kanan juar berbaris
Biarpun ia sungai yang keruh
Besar sekali manfaatnya
Segenap saluran penyiram sawah
Ke sanalah muaranya
O pemilik sawah yang luas
Jika kau tabur sebakul benih
Kau peroleh enam puluh bakul kembali
Kaulah yang paling sering menjual padi
Sungguh subur tanahmu
Tapi kau masih saja diam
Sekali pun mudah membuat tanaman bertumbuh
Orang tidak datang berdagang kepadamu
Apakah gerangan
Sebabnya tidak ramai?
Katakan biar kudengar
Agar jelas hati kami
Dihilir Batang Angkola
Menyinggung Aek Godang
Seolah berbalik ia kembali
Karena sempitnya aliran ke Batang Singkuang
Jika hujan turun
Sungai pun banjir
Karena sempitnya muara
Jadi ke daratlah melimpah
Itulah sebabnya
Maka banyak rawa-rawa
Uapnya keluar dari dalam
Pasti demam yang dibawanya
Ada orang luar
Yang berdiam di Penyabungan
Cepat ia keluar
Karena perutnya sudah buncit
Bukan hanya itu
Penyebab dagang tidak berhasil
Tapi masih ada lagi
Tor Pangolat tak dapat dilalui pedati
Tetapi sekali pun begitu
Kebaikanmu masih kurang,
Kau tidak kusia-siakan
Sebab di sinilah mula-mula kulihat hari terang
Tinggallah sayang
Entah berapa tahun aku tak tahu
Jika aku melihat kau kembali
Janganlah lagi tetap bodoh
Ketika kita berpisah
Aku masih berpesan padamu
Jangan lupa menasihati anak
Mencari ilmu yang benar
Analisis Ekokritik Sastra
lstitah ekokritik berasat dari bahasa lnggris yaitu ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata criticism. Ekologi merupakan kajian ilmiah tentang pola hubungan-hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami sebagai kritik berwawasan lingkungan. Dalam pemikiran barat telah terjadi peratihan-peralihan orientasi pemikiran. Pemikiran zaman kuno berorientasi pada alam (kosmosentris); pemikiran abad pertengahan berorientasi pada ketuhanan (teosentris); pemikiran zaman modern berorientasi pada manusia (antroposentris); dan pemikiran abad ke-20 berorientasi pada simbol (logosentris) (Siswo Harsono, 2008).
Menurut Greg Garrard (2004), ekokritisisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth).
Richard Kerridge mengajukan definisi sebagaimana diketemukan dalam Writing the Environment (1998) seperti definisi ekokritiknya Glotfelty. Definisi ekokritisisme tampak lebih luas, yakni ekokritisisme kultural. Mengacu pada definisi ini, ekokritik menggarap gagasan-gagasan dan representasi-representasi lingkungan di mana saja muncul dalam beragai ruang budaya yang besar Greg Garrard (2004).
Cheryll Glotfelty and Harold Fromm mengajukan gagasan Urgensi ekokritisisme dapat secara nyata disampaikan dengan menggunakan sejumlah pertanyaan seperti :
- Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi?
- Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel?
- Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)?
- Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya?
- Bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra)
- Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritis baru?
- Dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritis lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer? (Glotfelty & Fromm, 1996), dan
- Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan lingkungan (alam). Dengan demikian, ekokritisisme menjadi jembatan bagi keduanya (Greg Garrard, 2004).
Paradigma Ekokritik
Ekokritik muncul karena adanya kesadaran yang muncul dalam diri manusia tentang keberadaan alam semesta yang sepertinya layak untuk diperhatikan. Selama perkembangan masa kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologis hampir terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi tersebut seolah-oleh menjadikan manusia merasa bahwa kebudayaan tidak sejalan dengan alam. Hal ini terjadi akibat kemajuan ilmu dan teknologi, di bawah pengaruh kapitalisme dan imperialisme barat.
Karya sastralahir dari imajinasi pengarang dengan menggunakan alam semesta sebagai cermin untuk menggambarkan isi sebuah karya sastra. Alam telah menjadi bagian dari sastra. Hal ini dibuktikan oleh segala fenomena yang membangun sebuah alur dan latar karya sastra selalu menjadikan alam semesta sebagai objek karya sastra. Para pengarang akan selalu menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan karya sastra.
Dikutip dari https://fatchulfkip.wordpress.com/2013/01/06/ekokritisisme-kajian-ekologis-dalam-sastra-oleh-fatchul-muin/ (10/02/2020) dijelaskan bahwa ekokritik diaplikasikan dalam sebuah karya sastra untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan ekokritisime dalam sastra. Pertanyaan-pertanyan itu adalah sebagai berikut:
- Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi?
- Peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel?
- Apakah nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)?
- Bagaimana metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya?
- Bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra)
- Dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritik baru?
- Dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritik lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer?
Berdasarkan pertanyaan di atas, maka yang akan diuraikan pada tulisan berikut adalah untuk menjawab pertanyaan nomor satu.
Bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi Mandailing karya Williem Iskandar?
Pada puisi Mandailing karya Williem Iskandar terdapat beberapa kata dan frasa yang mengungkapkan alam. Berikut pemaparannya:
- Pada bait 1-3
dolok na lampas,
dolok na martimbus,
Tor Sihite
Tor Barerang
Gurung-gurungna manompi Lubu,
dolok Sigantang.
Lubuk Raya,
dolok Malea.
Bait di atas menyebutkan nama-nama bukit dan gunung yang terbentang mengelilingi Mandailing. Bukit-bukit tersebut menjadi bukti bahwa daerah Mandailing sangat kaya akan hasil bumi hayati. Bukit-bukit tersebut ditanami berbagai jenias kayu yang bisa menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Selain itu, masyarakat dapat berburu binatang liar di hutan dan bisa menikmati madu hutan yang alami dan kaya khasiat.
Gunung Lubuk Raya merupakan gunung berapi yang masih aktif. Di kaki gunung tersebut sangat subur sekali dijadikan area pertanian dan perkebunan. Selain hasil bumi, masyarakat juga bisa memanfaatkan kayu dari hutan untuk membuat rumah dan menjadi bahan bakar saat memasak.
- Sungai Batang Gadis
Bait berikutnya, pengarang menyinggung tentang Sungai Batang Gadis. Sungai besar ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Masyarakat Mandailing mengandalkan kehidupan dari bertani. Sawah-sawah akan mendapatkan pengairan dari Sungai Batang Gadis. sungai Batang Gadis juga dijadikan sebagai tempat mencari ikan segar. Ada beberapa jenis ikan yang menjadi ciri khas sungai tersebut. Nama ikannya disebut dengan incor. Hewan ini hanya hidup di sungai yang mengalir dan sungai yang jernih. Protein yang dihasilkan ikan tersebut sangat tinggi. Rasnya manis dan enak sekali jika dimasak menjadi lauk sambal borsang. Sambal borsang merupakan gulai khas Mandailing yang menggunakan kelapa parut sebagai bahan utama yang dipadukan dengan incor. makanan ini nikmat sekali apalagi dinikmati di tepi sawah ditambah pula suasana Mandailing yang sangat sejuk.
Sungai Batang Gadis juga dijadikan masyarakat sebagai tempat beraktivitas sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan lain-lain. Tidak heran jika masyarakat Mandailing pandai berenang.
- Kekayaan sawah
O pemilik sawah yang luas
Jika kau tabur sebakul benih
Kau peroleh enam puluh bakul kembali
Kaulah yang paling sering menjual padi
Dari bait puisi di atas, Williem Iskandar menyampaikan bahwa kekayaan sejati ada pada pertanian, khususnya menanam padi. Dengan menggeluti pertanian secara serius, akan terjadi swasembada pangan, terhindar dari impor, serta akan menyejahterakan masyarakat dari segi ekonomi. Jika masyarakat sudah makmur, maka segala jenis penjajahan baik penjajahan secara ekonomi, sosial, politik, dan ideologi akan terhindar karena negeri ini memiliki kekayaan hayati yang tidak dimiliki oleh negeri lain. Padi melambangkan kemakmuran. Selayaknya, rutinitas menanam padi hingga menjadi beras adalah sebuah kepribadian bangsa yang harus tetap terjaga. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal masyarakat akan senantiasa terjaga.
Apabila sawah sudah mulai berganti dengan bangunan, maka kehidupan masyarakat juga akan berubah dari sifat kultural menjadi kapitalis. Jika sudah demikian segala sikap, adat, serta budaya dan agama yang dulunya terjaga akan mulai mengalami pergeseran. Demikian juga kondisi alam. Jika Sungai Batang Gadis yang besar difungsikan sebagai irigasi ke sawah-sawah penduduk, maka bila sawah sudah mulai menipis bahkan habis, tidak heran jika Sungai Batang Gadis pada masa sekarang sering meluap ke perkampungan masyarakat dan menyebabkan banjir.
- Matahari terbit
Angke dison ma huida parjoloa ari torang
Pada penggalan bait di atas, Williem Iskandar mengungkapkan rasa cintanya terhadap Mandailing. Sekalipun Mandailing tidak tumbuh menjadi tempat yang megah dan ramai seperti kota besar, namun bagi Williem Iskandar, Mandailing adalah anugerah Allah yang diberikan untuk masyarakat.
Williem Iskandar menyebutkan bahwa di Mandailing adalah tempat pertama kali ia menatap matahari terbit yang menjadi sumber kehidupan. Matahari bersinar sepanjang tahun, menjadi penyebab tumbuh-tumbuhan menerima energi. Dengan energi tersebut, tumbuh-tumbuhan akan mengalirkan energi yang dimilikinya untuk kehidupan manusia dan binatang. Oleh sebab itu, binatang-binatang ternak dan pertanian menjadi kekayaan bagi masyarakat Mandailing.
Dalam beberapa perayaan pesta adat, maka binatang ternak menjadi menu wajib yang disuguhkan di hadapan masyarakat. Apabila pestanya kecil, maka yang disuguhkan cukup ayam kampung saja. Jika pesta menengah, maka yang disuguhkan adalah kambing. Jika pesta besar, maka yang disugukan adalah daging kerbau yang sudah dimasak.
Demikianlah uraian ekokritik pada karya puisi William Iskandar yang berjudul Mandailing. Pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Williem Iskandar akan menjadi panutan dan pendidikan yang sangat berarti untuk generasi di masa kini dan yang akan datang. Pesan moral yang disampaikan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masayarakat setempat bahwa adat harus selalu disejajarkan dengan agama. Dengan demikian, kahidupan yang harmonis akan terwujud.
Referensi Puisi : https://id.wikipedia.org/wiki/Mandailing_(sajak)