Riausastra.com – Assalamualaikum, Dek..
Ummi minta maaf harus tetap berangkat ke Padang malam ini. Ummi tahu adek tidak terima karena adek ingin tetap berada di samping ummi. Tapi, ummi tak punya pilihan.
Jarak terpaksa membatasi raga kita, Nak. Ummi tetap berangkat dengan berbagai pertimbangan. Sekali lagi, maafkan ummi yang meninggalkan adek dalam keadaan demam. Jangan tanya seperti apa rasa hati ini. Gerimis malam ini begitu setia menemani perjalanan panjangku. Sederas gerimis, air mataku pun demikian. Tak kuhiraukan lagi bagaimana orang menilaiku. Aku yakin, mereka pasti tahu tentang masalah yang yang sedang bertandang di dadaku. Meskipun mereka enggan untuk bertanya dan memilih untuk diam. Bahkan, mereka membiarkanku larut bersama kesedihanku.
Adek Fachri sayang..
Doaku memelukmu dari kejauhan. Sambil mengharapkan kesembuhan Allah hadiahkan untukmu. Maafkan ummi ya, Nak..
Perjalanan ummi adalah bagian dari jihad. Ummi tahu, mendampingimu, menyayangimu, dan mengurusmu juga sebuah jihad yang sangat besar. Dengan berjauhan begini bukan berarti kasih sayang dan cintaku berkurang untukmu, Nak. Bahkan kuhadiahi dirimu dengan rinduku. Ummi belajar dan menuntut ilmu di rantau orang hanya dua hari sepekan. Hanya dua hari saja, Sayang. Tidak untuk lama-lama. Insya Allah Jumat pagi kita akan kembali bertemu dan bersama lagi. Ummi tidak sabar memelukmu, Nak..
Kata abimu,
bersakit-sakit dalam menuntut ilmu itu biasa.
Kesabaran abimu yang membuat ummi tetap kuat, meskipun sebenarnya hati ini rapuh.
Adek Fachri yang soleh..
Lekas pulih ya, Nak..
Kadang ummi sering merasa bahwa ujian hidup yang ummi terima terasa berat. Ummi lupa bahwa ada banyak ummi lain yang ujian hidupnya lebih dahsyat lagi. Tapi, hebatnya mereka adalah mereka tidak mengeluh, namun sibuk membenahi kedekatan mereka dengan Allah.
Ummi berpisah sementara dua malam ini denganmu, sayang. Sementara ummi-ummi yang lain di Palestina berpisah dengan anak-anaknya selamanya. Anak-anak mereka dibunuh dengan sadis oleh tentara Israel laknatullah. Ada juga anak-anak yang masih hidup, tapi ummi mereka tidak lagi bersama mereka di dunia ini. Lebih dari lima belas tahun hidup mereka dibelenggu oleh kekejaman penjajah. Tapi, mereka justru tumbuh menjadi pribadi yang kuat dengan iman yang kokoh. Ah, ummi jadi merasa beban yang ummi terima hanya remah-remah rempeyek. Garing dan gurih. Tapi, ummi meresapi galau ini secara berlebihan.
Beberapa bulan terakhir, para ummi dipisahkan dari anak-anaknya di sebuah negara komunis. Ntah bagaimana hancurnya hati para ummi di sana. Hanya karena mereka seorang muslimah, tentara di negara itu tega mengunci mereka dalam kamp-kamp penyiksaan. Hati ummi mana yang tidak tersayat saat dipisahkan secara paksa dengan buah hatinya.
Para ummi itu tidak tahu apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Apakah anak-anaknya tidur dengan pulas atau tidak. Apakah anak-anaknya diperlakukan dengan manusiawi atau tidak. Para ummi itu pasrah pada Allah. Mereka tak punya pilihan selain tetap dalam akidahnya meskipun siksaan demi siksaan mereka terima. Mereka ikhlas meskipun batin mereka menjerit. Para ummi itu telah berjuang keras mengabaikan kesenangan duniawi untuk mempersiapkan kehidupan yang kekal abadi di syurga Allah kelak. Berkumpul bersama anak-anak dan suami.
Mengenang kisah mereka, membuat ummi merasa malu. Betapa cengengnya ummimu ini. Gampang sekali merapuh. Padahal ujian hanya seringan kapas putih yang melayang-layang ditiup angin. Ampuni ummi ya Allah..
Fachri, anakku sayang..
Ummi mencintaimu karena Allah. Semoga ummi kuat menanggung rindu ini. Adek juga harus kuat ya, Nak. Ada abi yang selalu menguatkan kita dalam kesabaran. Salam sayang untukmu dari Bumi Minang. Semoga lekas pulih sayangku..
I love you ♥
-ummi-