Riausastra.com – Akhir tahun selalu diabadikan oleh banyak orang untuk mengenang masa lalu dan untuk mempersiapakan masa depan. Bertepatan dengan liburan panjang sehingga suasana akhir tahun dan awal tahun sering diisi dengan kegiatan berlibur.
Berlibur bisa dilakukan dengan bertamasya, jalan-jalan, silaturahim, berbelanja, tidur-tiduran, beberes rumah, masak, belajar agama, menghafal Quran, dan lain-lain. Tidak jauh berbeda denganku. Aku yang merantau ke Kota Pekanbaru setelah resmi menikah sekitar sepuluh tahun yang lalu, sering menjadikan suasana liburan tahun baru tak ubahnya dengan hari-hari biasa. Tidak terlalu spesial bagiku mengisi tahun baru dengan kegiatan bertamasya. Apalagi tidak didukung oleh kas rumah tangga yang memadai untuk bisa memboyong tujuh orang anggota untuk pulang kampung, jalan-jalan, dan sebagainya. jika sudah begini, kalimat, “Ya, sudahlah!” lebih nyaman bersandar di hati.
Tepat hari Rabu. Biasanya hari Rabu sore ada Pasar Kaget di sekitar kediaman kami. Disebut sebagai pasar kaget karena keberadaan pasar ini hanya buka sekali seminggu pada sore hari di setiap tempat yang berbeda. jika tidak hafal hari, biasanya orang yang melintasi kawasan pasar akan terkaget-kaget mendapati suasana pasar yang sangat ramai. Padahal biasanya kawasan tersebut sunyi sepi dan yang ada hanya lapak-lapak kayu usang yang kosong. Seperti sore ini, Pasar Kaget berlokasi di RGM. Jika hari Minggu, Pasar Kaget berada di Jalan Pramuka, hari Jumat di Perumahan Herap, dan lain-lain.
Saat menyambangi Pasar Kaget, suasana pasar terasa cukup lengang. Tidak seperti biasanya yang padat dan ramai. Aku mencoba mencari penjual sayuran. Biasanya, penjual sayuran berserak di mana-mana. Berbeda dengan hari ini. Ternyata banyak juga pedagang dan pembeli yang sedang menikmati liburan panjang.
Setelah berkeliling dari lapak kaki lima yang satu menuju kaki lima yang lain, akhirnya aku berhasil menemukan satu lapak penjual sayuran segar. Awalnya aku ragu. Tapi, karena suasana juga sedang lengang, akhirnya aku mencoba membuka bicara dengan penjual sayur.
“Yang jualan, siapa?” Tanyaku sambil menatap wajah anak remaja di depanku.
“Saya, Nte,” jawabnya sopan sambil tersenyum.
Karena masih ragu dengan yang kusaksikan barusan, aku kembali memberikan pertanyaan pada anak lelaki itu, “Biasanya, yang jualan, Mama, ya?”
“Ndak do, Nte. Awak juo nan manggaleh di siko sambil jaga parkir,” jawabnya sopan dengan bahasa Minang.
“Sekolah di mana?”
“Di SMK Negeri 7, Nte.”
“Kelas berapa, Nak?”
“Kelas 10, Nte.”
“Kamu serius ya jualan di sini?”
“Serius, Nte. Tiok minggu awak manggaleh sayua di siko, Nte.“
Aku tersenyum takjub melihat anak muda berpenampilan rapi di depanku ini. Tanpa beban apapun, ia tampak sangat menikmati aktivitasnya. Aku yakin anak ini tidak berbohong. Karena di sekitarnya ada beberapa anak seusianya yang ikut menyaksikan percakapan kami.
Anak muda yang kutemui di hadapanku ini punya mental pengusaha. Tidak seperti kebanyakan anak muda yang sibuk dengan androidnya, dengan game onlinenya, dan juga rokoknya. Anak ini benar-benar mengajarkanku arti bersyukur dengan segala yang kumiliki. Sekalipun tidak berlibur kemana-mana, berlibur ke Pasar Kaget untuk membeli bahan-bahan masakan, sudah cukup memberiku hikmah dan bahagia.
“Ante mau tiga ikat sayur pucuk ubi-nya, ya,” ucapaku yang memang tidak mahir berbahasa Minang.
“Ini, Nte.” Anak itu menyerahkan tiga ikat sayur daun ubi.
“Ini uangnya, dan kembaliannya buat Kamu aja.” Aku memberikan uang pada anak itu. Lalu, aku memberikan anak itu sisa kembalian uangku sebesar tujuh ribu rupiah.
Anak itu tersenyum bahagia sambil mengucapkan terima kasih sebanyak dua kali.
Teman-temannya pun menggodanya, “Asysyekkk,” ucap mereka ikut bahagia.
Aku tahu, uang tujuh ribu tidak akan berarti banyak untuknya. Aku hanya ingin menghargai jerih payahnya dengan melebihkan sedikit keuntungan yang diperolehnya agar ia bahagia dengan usaha yang ia lakukan. Aku tidak sedang menakar usahanya, tapi aku sedang belajar menghargai kesungguhan anak ini. Dan, kesungguhan anak remaja laki-laki ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk dijadikan teladan buat para Generasi Millenial dan Generasi Zillenial.
Aku menyudahi kegiatan berbelanja di Pasar Kaget di sudut Kota Pekanbaru. Tak banyak yang terlintas dalam benakku kecuali rasa syukur atas nikmat masa lalu dan nikmat masa kini yang Allah curahkan secara cuma-cuma.