Riausastra.com – Perempuan tidak hanya identik dengan kecantikan dan fitrahnya yang lemah lembut. Dibalik kelembutan jiwanya tersimpan kekuatan yang besar untuk menjalankan ketaatan pada Sang Penciptanya, pada ayah ibunya, dan pada suaminya. Begitulah Allah SWT memberikan keistimewaan bagi perempuan agar mampu memuliakan dirinya sekaligus mengekspresikan kemampuannya yang tidak hanya terbatas pada kasur, sumur, dan dapur.
Berbicara masalah perempuan, maka ujian terbesar baginya adalah ujian perasaan. Jika akal tidak ditimbang dengan perasaan, maka perasaan akan lebih mendominasi. Jika perasaan sudah bermain, sewaktu-waktu kebenaran bisa saja tidak akan bisa diterima dengan akal sehat.
Oleh karena itu, Allah menitipkan perempuan pada imamnya (suaminya) yang akan menjadikannya sebagai rusuk kiri. Sebagaimana tulang rusuk, dekat di tangan untuk dilindungi, dekat ke hati untuk dicintai.
Jadi, setiap imam harus sungguh-sunnguh membimbing perempuannya agar tidak semakin bengkok dan jangan sampai patah.
Perempuan dalam sebuah perjalanan. Jasadnya seolah-olah merindukan suasana santai, terbebas dari kerempongan, menikmati kesendirian, meski hanya sejenak saja. Seperti kesempatan yang indah ini. Bertemu dengan sahabat lama, bercengkrama, saling berbagi cerita, melepas rindu, dan menikmati indahnya suasana Kota Tua Batavia, Jakarta.
Pertemuan ini sangat eksklusif. Tiada diduga, tiada direncanakan, dan belum tentu bisa dirasakan setiap tahun.
Dengan fitrah perempuan yang dua puluh ribu kata perhari, segala topik bisa menjadi tema pembicaraan yang menarik dan menyenangkan. Apa saja bisa dijadikan cerita. Jika dituliskan, mungkin sudah terbit menjadi sebuah novel.
Pagi berganti senja. Apakah perjalanan semakin mengasyikkan?
Bagi perempuan sepertiku dan seperti sahabatku, perjalanan ini tetap saja dibayang-bayangi rasa rindu. Di antara senda gurau dan pembicaraan serius, tetap saja topik akan kembali pada anak-anak yang ditinggal bersama ayahnya.
Sebagian perempuan memang begitu. Perjalanan baginya hanya akan menyisakan kerisauan dan kerinduan bila berjauhan dengan anak-anaknya. Meskipun perjalanan indah ini cukup mengasyikkan, tetap saja piring kotor, rumah berserakan, anak-anak yang berlari ke sana kemari, anak-anak yang membongkar isi rumah, anak-anak yang masih lapar, dan semua kerempongan dalam rumah tetap saja melekat dan ikut serta kemana pun perempuan melangkahkan kakinya. Mungkin separuh hatinya boleh saja mendambakan berlepas diri dari kesibukan rumah agar bisa berdandan lebih cantik. Namun sayang, separuh hatinya tetap saja tinggal bersama orang-orang yang dicintainya di rumahnya. Benar sungguh bahwa sebaik-baik tempat kembali setelah perjalanan adalah rumah sendiri.
Semoga perjalanan singkat sebulan yang berlalu ini, menyisakan kenangan hangat serta Allah beri kesempatan baik di kemudian hari untuk bersua kembali.