Foto : Okezone.com

Riausastra.com – Anak kecil terlahir ke dunia sebagai cahaya mata, penerus keturunan, serta menjadi investasi akhirat bagi kedua orang tuanya. Anak kecil akan menghiasi alam kubur orang tuanya dengan doa-doa indahnya. Dan, doa itu akan sampai ke langit.

Hari ini seorang anak kecil tengah pilu. Ingin sepertinya ia bernyanyi di antara sesak yang memenuhi lubuk hatinya. Mulutnya terkunci. Bibirnya mengatup. Air mukanya berkecamuk tak karuan. Dadanya berdegup kencang. Ia menyimpan ketakutan yang mendalam.

Bersama air mata yang mengalir dari dua matanya, akhirnya ia beranikan juga membuka suara ketika berpuluh pertanyaan beruntun ditujukan padanya. Lebam di bawah kelopak matanya menjadi sebab hadirnya keingintahuan dari masyarakat.

“Aku tak sanggup membahagiakan orang yang sangat kusayangi. Semestinya aku tak menyerah di antara teriknya matahari atau derasnya air hujan. Seharusnya kakiku tak terhenti, meski jalanan ini terlalu panjang dan meletihkan. Selayaknya aku tak malu meminta-minta pada mereka yang mengasihiku. Akan tetapi, aku sungguh tak sempurna. Aku tak bisa memberi ibuku 100K hari ini. Ibuku sedih, dan aku pun merasa sangat berdosa telah menyakiti ibuku. Ibuku melayangkan telapak tangannya tepat di wajahku. Mungkin ibuku menyesal memiliki anak sepertiku. Maafkan aku, Ibu…”

Anak kecil itu menangis. Semestinya anak seusianya merengek hingga tantrum sebagai ekspresi manjanya saat keinginannya tidak sepenuhnya dipenuhi ibunya. Namun, anak kecil dalam cerita hari ini tidaklah sama dengan anak kecil lainnya. Aku tak tahu seperti apa rapuhnya jiwa si anak kecil itu. Sudah kuduga, masa depannya pun telah porak-poranda. Cinta yang seharusnya menaungi masa kecilnya telah berubah menjadi kebencian. Ibarat anak panah yang terlepas dari busurnya. Sasaran kebencian ibunya adalah tubuh mungilnya yang merindu untuk dipeluk dan dibelai. Anak itu hanya bisa menangisi kisahnya.

Cerita ini kutuliskan dengan sebatas kemampuanku sebab aku berharap tak ada lagi perempuan-perempuan berhati batu dan bertangan ringan untuk menampar buah hatinya. Bukankah sebagai ibu, kita telah berutang banyak pada buah hati kita. Kita berhutang atas kebahagiaan mereka, pada masa kecil mereka, pada masa remaja mereka, dan kita bertanggung jawab atas dosa-dosa mereka pada Rabbul izzati.

Duhai anak kecil yang kudapati kisahmu hari ini, menangislah sepuasmu. Semoga kisahmu menjadi pengalaman dan pelajaran berharga buat orang lain..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini