Riausastra.com – Kumpulan prosa dan puisi ini masih tersimpan rapi di rak buku milikku. Buku ini amat spesial bagiku karena di dalamnya terdapat sajak-sajak eksotis hasil goresan tanganmu dan luahan imajinasimu.
Kumpulan prosa dan puisi ini adalah pemberian terakhirmu untukku sejak setahun yang lalu. Dan aku pun ingat betul, sejak itu pula kita tidak pernah bersua lagi dan saling bercerita.
Perempuan berkerudung besar dengan senyuman yang selalu manis. Itulah karakter dirimu. Meski tak seglamour perempuan masa kini, berpenampilan sederhana dengan paduan warna hitam dan coklat, cukup membuatmu merasa percaya diri.
“Rasanya, dirimu punya koleksi pakaian hitam dan coklat saja ya?” pernah godaku suatu hari.
“Trima kasih sudah memperhatikanku..,” balasmu disertai senyuman yang selalu mekar.
Aku pun ikut tersanjung.
“Pakaian yang kumiliki memang hanya berwarna hitam dan coklat pekat saja,” sambungmu lagi.
Tak banyak alasan.
Meski dirimu berkulit redup, tetap saja jawabanmu satu, “Ya, karena aku suka.”
Titik.
Sungguh, dirimu memang perempuan yang tak mau ribet-ribet.
Ada satu rasa bersarang dalam dadaku: rindu.
Saat ini, yang kudapati hanyalah sebuah foto dirimu bersanding dengan seorang lelaki yang begitu kukenal.
Wajahmu yang manis pun kian bersahaja dibalut pakaian adat merah menyala.
Kau begitu anggun, Sobat.
Tapi, satu hal yang tak kumengerti.
selama setahun ini, engkau tak pernah lagi membalas sms, obrolan, bahkan sering tidak mengangkat telpon dariku.
Aku pun kian penasaran.
Bila aku bertanya tentang ketidakmengertianku, yang kuterima hanya satu jawaban, “Insya Allah suatu saat aku akan bercerita padamu.
Dulu, kita sering berbagi.
Kesederhanaan sikapmu membuatku selalu nyaman di dekatmu.
Banyak hal yang kita ceritakan. Meski temanya tak jauh-jauh dari masalah hati. Barang kali karena kita sama-sama perempuan feminim.. heheh
“Seseorang mengaku cinta padaku,” akumu suatu hari, tepatnya lebih dari setahun yang lalu.
“Lelaki itu memintaku untuk menjadi istri keduanya,” sambungmu penuh cemas dan tak percaya diri.
Aku tak banyak bicara karena aku juga merasakan sesak yang engkau kunci dalam hatimu.
“Rasanya bohong kalau ia benar-benar mencintaiku. dirinya terlalu hebat untukku. Apa yang dia pandang dariku?” keluhmu lagi.
“Aku juga sering tak mengerti dengan perasaan laki-laki,” balasku.
“Tapi, dia tidak salah. Bukankah cinta itu seperti hujan? Turun kapan dan dimana ia mau,” sambungku merasa bijak.
Dan kini, akhirnya engkau menikah dengan lelaki tersbut.
Aku bahagia dengan keputusan ini. Namun, satu hal yang membuatku masih bertanya, mengapa mesti kau tutupi smua ini dariku?
Aku tak tau mengapa waktu untuk bercerita lagi denganmu teramat sempit? Entah sampai kapan akan kutunggu.
Apakah dirimu menganggapku sahabat yang akan menyalahkanmu karena telah bersedia menjadi madu bagi istri pertama suamimu?
Tidak kawan.
Aku tak sepicik itu.
Aku bukan penentang poligami, meski aku belum bisa menjadi pendukung poligami.
Langkahmu tidak salah.
Bukankah pernikahan itu jalan yang Allah ridhoi?
Lantas, mengapa masih ragu tuk bercerita lagi denganku?
Aku justru ingin tau betul tentang bhagia yang kau rasakan.
Bukankah setiap kita berhak untuk bahagia?
Aku semakin ingin tau tentang suka dukamu menjadi seorang madu.
Bukankah aku ini seorang istri pertama dari suamiku? Lantas, masih ada peluang mendapatkan madu suatu saat nanti.
Oleh karena itu, aku harus banyak berbenah dan belajar darimu.
KOPI HUJAN PAGI,
tak nikmat lagi jika menyeruput kopi saat ini karena sudah tak turun hujan lagi, apalagi hari sudah siang.
yang jelas, aku masih menunggu ceritamu..