Riausastra.com – Matahari terik menerpa dengan cantiknya. Sinaran yang sempurna menyisakan bayang-bayang yang selalu setia menemani. Suara deru kendaraan bersahut-sahutan. Berisik, bising, suara knalpot beradu mengikuti jarak tempuh masing-masing sesuai keinginan pengemudinya. Demikian juga ayahku. Dengan semangat menggelora terpancar dari wajahnya yang mulai memudar diterpa masa, ia menginjak gas kendaraan roda tiga miliknya untuk mengantarkanku pulang ke asrama. Gagahnya lelaki itu, ayahku, rona bahagia ia pancarkan dari air mukanya yang bersahaja di siang menjelang sore ini.
“Alhamdulillah, kita sampai tepat waktu.” Lelaki itu tersenyum menandakan bahagia sambil menggenggam tanganku menuju meja piket.
Beberapa orang wanita berhijab dan berbusana longgar sedang menunggu di meja piket. Biasanya orang-orang ini adalah orang yang ketulusan hatinya tak bisa dilukiskan. Ibarat dedauanan yang kering, jatuh perlahan-lahan diterpa angin sepoi-sepoi, tanpa perlawananan. Ikhlas banget. Pada jadwal kunjungan puteri yang dilaksanakan per dua pekan sekali, mereka akan bergantian menjaga meja piket. Mencatat secara detail nama orang per orang, jam berangkat dan jam balik ke asrama dengan limit waktu pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB. Biasanya mereka merelakan waktunya untuk berjaga karena mereka sedang tidak berniat untuk memanfaatkan jadwal kunjungan ini. Ntah karena keluarganya sedang tidak berkunjung sebab jarak tempuh dari kediaman keluarganya cukup jauh. Atau mereka yang sedang tidak ingin menatap Kota Padang Sidimpuan nan eksotis ini walau hanya sekadar cuci mata di pasar Sangkumpal Bonang atau sekadar membeli jajananan kerupuk sambal dan karak koling.
Lelaki itu pamit. Lagi-lagi senyumnya, menggetarkan hatiku. Selepas kucium punggung tangannya, ia melambaikan tangannya ke arahku dari ujung gerbang Nurul Ilmi Islamic Boarding School. Air bening menetes di pipiku. Baru beberapa detik bersamanya, hatiku malah semakin rindu padanya juga pada ibuku yang tidak turut serta mengantarku karena harus beres-beres rumah selepas kunjunganku tadi. Kepulanganku saat kunjungan putri akan selalu disambut dengan gulai ayam kampung dan teri main bola sebagai bekal selama dua minggu di asrama. Ibuku begitu mengerti, lauk di asrama tidak selalu sesuai dengan keinginan putrinya, meskipun hal itu tidak kukeluhkan padanya. Sekalipun ibuku tak pernah merasakan hidup berasrama, tapi ia tahu betul seluk beluk hidup berasrama. Barangkali, itulah yang disebut dengan cinta. Tulus sekali cinta ibuku. Meski tak dirasa olehnya, namun ia mampu merasa. Masya Allah, hatiku meleleh dibuatnya..
Inilah rona bahagia saat kunjungan putri. Ibuku selalu menyiapkan nasi bungkus agar aku bisa menikmati masakannya, lalu membagikannya dengan teman-teman seruangan di asrama. Makan bersama adalah tradisi. Sebungkus bersepuluh kepala itu biasa. Secangkir bersepuluh bibir, itu juga biasa. Alhamdulillah, guru-guru di sekolah ini telah berhasil menempa pribadiku dan pribadi penghuni Nurul Ilmi ini. Keegoan, mau menang sendiri, pelit, sombong, dan manja tidak akan laku di sini. Jika berani coba-coba, siap-siap saja tidak punya teman. Belum lagi dapat teguran dari senior yang manis-manis, tapi tegasnya luar biasa. Dari pada belagu, lebih baik cari aman. Ternyata menurunkan kadar keegoan itu indah banget, seindah kebersamaan menikmati nasi bungkus buatan ibuku ditambah dengan nasi bungkus buatan ibu teman-temanku. Persis makan di pesta lesehan.
Semingu berlalu. Kujalani rutinitas hari-hari sesuai schadule yang telah berlaku di sekolah ini.
“Asrama Muti’ah, makaaaannnnn…!” petugas piket nasi hari ini meneriaki semua penghuni asrama Muti’ah untuk makan bersama di ruang makan.
Serentak, seluruh penguni ruangan akan segera mengenakan pakaian lengkap menutup aurat. Yang sempat terlelap, wajib bangun. Yang sedang menyetrika, wajib menghentikan setrikaannya sejenak. Yang sedang mencuci di kamar mandi juga demikian. Tidak seorang pun yang berani melanggar ajakan makan di sekolah ini. Telat sedikit saja, jatah sudah disikat kawan atau kucing atau lalat. Belum lagi dapat skor dari Seksi Konsumsi. Biasanya, yang diamanahkan menjadi seksi konsumsi adalah mereka-mereka yang cukup tegas alias sedikit garang, seperti Kak Rossnya Upin Ipin.
“Aku minta sambalmu, ya,” Milea menyodorkan piringnya.
“Nggak boleh bilang “aku”,” tegurku sambil menuangkan sambal teri main bola buatan ibuku yang mulai menyisakan bekas cabai dan minyak di tempatnya. Persediaan pun menipis, seiring pergantian waktu.
“O iya, ststst… jangan kuat-kuat,” Milea buru-buru mengoreksi ucapannya. Takut terdengar oleh kakak senior dan takut mendapat skor kesalahan di buku hitam.
Kata “aku” tidak berhak mendapatkan tempat di lisan penghuni Nurul Ilmi sehingga wajib diganti dengan kata “saya”. Peraturan ini berlaku agar kesan sombong dan ego, lepas dari pribadi penghuni sekolah ini. Kata “saya” lebih pas, kesannya lebih sopan dan elegan. Jika melanggar peraturan, akan mendapatkan skor angka di buku hitam.
Buku hitam Nurul Ilmi tidak bisa digadaikan, layaknya buku hitam sepeda motor. Fungsi buku hitam sebagai “alat kontrol”. Bagi anak asrama, buku ini hampir menyamai kehebatan kotak hitam pesawat. Sebenarnya buku ini berupa buku tulis biasa yang disampul dengan plastik kresek berwarna hitam. Tapi, jangan terkecoh. Setiap lembar demi lembarnya bertuliskan peraturan-peraturan dan besarnya jumlah skor di setiap jenis kesalahan sebagai konsekuensi dari setiap pelanggaran. Di akhir semester, selain nilai akademik, buku hitam ini akan dievaluasi oleh para guru dan besarnya kesalahan setiap siswa akan menjadi bahan pertimbangan buat para akademisi untuk mengizinkan siswa tersebut untuk melanjutkan studi di Nurul Ilmi, atau harus mutasi ke sekolah lain alias Droop Out (DO). Menegangkan sekali bukan?
“Jangan ada nasi sisa sebutir pun di piring. Ingat ya Kakak-kakak, Adik-adik, dan Kawan-kawan, walaupun lauk yang tersedia di piring tidak sesuai dengan selera kita, kita wajib bersyukur. Kita lihat saudara-saudara kita di Suriah dan di Palestina. Jangankan untuk makan, tidur pun di bawah reruntuhan akibat kezholiman Syiah dan Yahudi Laknatullah,” nasihat salah seorang senior yang diamanahkan sebagai Seksi Konsumsi.
Setahun lebih di Nurul Ilmi. Nasihat-nasihat seperti ini yang mengajarkanku untuk tidak manja. Apapun yang disediakan oleh Ibu Dapur, enak tidak enak, wajib dimakan. Dalam keterpaksaan ini, akhirnya aku terbiasa makan menggunakan tangan dan tidak menyisakan sebutir nasi pun di piring.
“Kita tidak pernah tau, pada butir nasi yang mana, Allah memberikan berkah-Nya,” tausiyah Ustadz Hasan selepas solat di masjid beberapa masa yang lalu.
***
“Astaghfirullah al azhiim,” aku tersadar dari mimpiku. Bolak-balik istighfar, berharap ada ketenangan sesudahnya. Aku mimpi buruk. Dalam mimpi itu, aku melihat ayahku dalam kondisi tak bernyawa. Aku mengusap wajahku. Ada rasa takut kehilangan yang menyelinap di dasar hatiku. Tak tersadar, air mataku jatuh. Deras sekali.
“Ayah…,” desisku dalam kesunyian malam. Sekelilingku sepi. Seruangan ini dihuni oleh dua puluh orang. Aku menatap dari satu tempat tidur ke tempat tidur yang lain. Semua masih tertidur pulas.
Aku bangkit, segera merapikan tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi umum untuk segera mandi. Meskipun jam masih menunjukkan pukul 04.00 WIB, kamar mandi umum sudah mulai ramai. Ada yang mencuci kain. Ada yang hanya sekedar berwuduk. Ada juga yang mandi pagi. Mandi sepagi ini? Mengapa tidak? Bagi anak asrama, mendapatkan seember air bersih tak ubahnya seperti mendapatkan seember permata. Untuk menghindari antrian panjang saat menampung air, maka bangun lebih awal adalah solusi agar tetap bisa mandi sebelum berangkat sekolah.
Sebelum adzan subuh, seluruh siswa Nurul Ilmi wajib ikut apel pagi. Olah raga ringan yang dipimpin oleh instruktur dari Seksi Olah Raga.
“Tarik nafas, pelan-pelan, lepaskan,” Kak Aisyah memimpin gerakan apel pagi.
“Sebelum bubar, Ketua Ruangan cek anggota masing-masing!” perintah seniorku bernama Aisyah.
“Lapor Kak, anggota ruangan Atiqah II belum lengkap dua orang,” lapor Kak Mimin, salah seorang ketua ruangan di asrama Atiqah.
“Periksa ke asrama!” perintah Kak Aisyah.
Tanpa pikir panjang, Kak Mimin yang sedang duduk di bangku kelas dua SMA itu segera mencari dua anggotanya yang tidak ikut serta kegiatan apel pagi di lapangan.
“Lapor, Kak, ini dua anggota Saya,” Kak Mimin membawa serta dua anak perempuan yang masih duduk di kelas satu SMP dan merupakan satu ruangan dengannya.
“Kenapa nggak ikut apel pagi Nurmala?” tanya Kak Aisyah.
“Sakit perut saya, Kak. Jadi ke belakang dulu tadi,” jawab Nurmala sambil ketakutan.
“Besok-besok, bangun cepat, biar bisa ke belakang sebelum apel pagi mulai!” Gadis manis bernama Aisyah ini menegaskan.
“Iya Kak,” jawab Nurmala.
“Kamu kenapa nggak ikut apel pagi?” tanya Kak Aisyah pada seorang lagi.
“Pusing kepalaku, Kak,” Sizuka menjawab dengan cemberut.
“Kemarin alasanmu pusing. Hari ini juga sama. Yang kayak mananya kamu ini, Dek?” logat Batak Kak Aisyah mulai keluar.
“Setiap bangun pagi, kepalaku pusing Kak kalau disuruh langsung turun dari tempat tidur,” Sizuka mulai kesal karena alasannya tidak diterima oleh Kak Aisyah.
“Makanya usahakan bangun sebelum dibangunkan petugas apel pagi. Pas bangun itu Dek, duduk dulu aga-agak lima menit. Baru pelan-pelan berdiri. Ini nggak, alasan aja nya pusing, padahal karena malasnya ikut apel. Mau tidurnya rupanya. Orang pun ikut apel itu, biar nggak ngantuknya. Biar nggak terlambat pulak solat subuh,” Kak Aisyah merepet panjang kali lebar.
Subuh begitu syahdu. Biasanya, suasana subuh di masjid adalah episode ngantuk yang paling mengasyikkan. Tapi, kali ini kantukku sirna. Diusir sedih yang masih menjelma jadi bayang-bayang. Terngiang mimpi malam tadi. Teringat ayahku.
Lelaki jangkung itu begitu lihai saat mengajak anak-anaknya bercengkrama dan bersama-sama menyelesaikan suatu pekerjaan. Ia sosok yang tegas, pengertian, cerdas, namun perasa. Ayahku, lelaki berusia 42 tahun itu adalah sosok yang kami sayangi sekalius kami segani. Ia dibesarkan di keluarga yang sangat menjunjung tata krama, apalagi adab dalam berbicara dengan yang lebih muda dan yang lebih tua.
Ayahku, selalu sabar saat membujukku saat tidak selera makan, dulu. Ia akan lebih dahulu bercerita tentang kisah-kisah lucu dan inspiratif. Lalu, aku akan dengan semangat menghabiskan nasi di piringku. Bukan karena selepas bercerita, selera makanku muncul. Tapi, karena hatiku telah bahagia selepas cerita lucu dari ayahku. Untuk menunjukkan bahwa aku menyayanginya, menghargai bujuk rayunya untukku, aku pun segera melahap nasi di piringku sampai habis agar lelaki istimewa di sampingku itu turut bahagia.
“Ayah, sudah habis,” laporku dengan senyum kemenangan.
“Pintar anak ayah,” pujinya.
Ayahku adalah sosok romantis. Di setiap tangal kelahiran anak-anaknya, dialah orang yang paling semangat menghadiahi anak-anaknya meski hanya sekotak kue tart. Atau hanya sebotol sirup yang dituangkannya ke dalam gelas-gelas kaca, lalu menyuguhkannya pada kami dengan senyumnya yang ramah. Sungguh pribadi yang membuat anak-anaknya selalu terkenang.
Memoriku terlintas saat masih duduk di kelas satu SMP. Seluruh civitas akademika Nurul Ilmi mengadakan aksi penggalangan dana untuk Palestina di Pasar Baru, Pusat Kota Padangsidimpuan. Aku bersama teman-temanku, para senior dan junior, serta para guru berdiri memenuhi trotoar jalan raya. Sebagian memegang spanduk bertuliskan “Save Palestine”. Sebagian lagi memegang kotak-kotak besar untuk tempat sumbangan. Seorang guru laki-laki menjadi orator aksi. Dengan kalimat-kalimat yang beliau sampaikan, mampu menggugah hati para pengguna jalanan protokol tersebut. Beberapa pengendara menghentikan kendaraannya lalu mengeluarkan infaknya. Demikian juga para pedagang dan pejalan kaki.
Aksi solidaritas itu dilaksanakan selepas solat Jumat. Tidak ada lagi jam sekolah. Kegiatan-kegiatan solidaritas seperti ini, sering dilakukan oleh civitas akademika Nurul Ilmi agar para siswa terbiasa berempati pada siapa pun, khususnya saudara seiman, se-Islam.
Dari kejauhan, aku melihat ayahku. Ia menghapiriku selepas bertanya pada guruku tentang keberadaanku. Dari jauh, senyumnya sudah merona. Aku bangga disamperin ayahku. Aku mencium punggung tangannya.
“Mudah-mudahan berkah, ya Inang,” doanya sambil meletakkan uang sumbangan sepuluh ribu di kotak yang aku pegang.
Ia pamit pada guruku dan berterima kasih. Ia tau betul jika tidak jam berkunjung, tidak akan diizinkan bertemu lama-lama. Dari kejuahan, aku memandang pungung letihnya. Aku mendoakan kebaikan untuknya, juga untuk ibuku.
“Jangan ada yang ngantuk,” tiba-tiba pengurus Rohis mengingatkan jamaah yang sedang membaca al-ma’tsurat.
Pikiranku kembali melayang, mengingat semua kebaikan ayah dan ibuku. Air mataku jatuh. Aku rindu. Bagaimana jika mimpi tadi malam benar-benar kenyataan? Batinku dan pikiranku bertengkar hebat. Perlahan kuusir dengan berusaha fokus membaca alma’tsurat.
Ayahku lelaki yang sangat istimewa di hidupku. Tapi, ada ketimpangan di balik kebaikannya. Aku harus memperbaiki ketimpangan itu agar kelak, Allah SWT tak hanya mengizinkanku bersamanya di dunia, tapi juga di syurga-Nya. Air mataku kian semakin deras.
Sepulang sekolah, aku mengurus izin keluar asrama kepada Kepala Asrama. Berdua dengan Syahrini, kami meminta izin untuk ke pasar dalam rangka membeli perlengkapan kelas berupa alas meja, bunga meja, dan lain-lain.
Keluar dari asrama adalah sebuah keniscayaan. Bagai pagi yang dibuka dengan sinar mentari. Cerah sekali raga ini saat memandang alam di luar lingkungan Nurul Ilmi. Bahagia. Sepanjang Jalan Silandit, dari Nurul Ilmi ke simpang, kami lalui dengan berjalan kaki. Menghirup aroma segar sebelum jatuh tempo di jadwal kunjungan. Curi start. Padahal di dalam lingkungan Nurul Ilmi, jenis udaranya tidak berbeda dengan udara di luar gerbang. Bahkan lebih bersih karena lebih terhindar dari polusi. Tapi kesan yang tercipta, cukup berbeda. Gerbang adalah pembatas kesan itu, kesan selama berada di dalam gerbang, dan kesan saat berada diluar gerbang.
Di pinggir jalan terdapat pohon besar. Dedaunannya yang kecil-kecil setiap hari gugur ditiup angin sepoi-sepoi. Aku dan Syahrini yang melintas di bawahnya, seolah-olah merasa seperti sedang berada di musim gugur. Sempat pula membayangkan seperti sedang dihujani bunga sakura, saking bahagianya bisa keluar pagar Nurul Ilmi secara legal.
“Beli apa, Butet?” tanya Syahrini padaku setelah kami selesai mencari perlengkapan kelas.
“Kado milad buat ayahku,” jawabku sambil memilihkan sampul kado yang pas.
***
“Kak, jangan lupa ya, kasi sama ayah kadonya.”
Aku menitipkan kado pada kakakku di saat kunjungan puteri tiba. Aku ingin kado ini surprise buat ayahku. Aku pamit untuk kembali ke asrama setelah makan bersama dan berkumpul selama empat jam dengan keluargaku. Yang kupunya hanyalah doa dan cinta buat mereka. Meski jauh di mata, namun dekat dalam doa.
Dua minggu berikutnya pun tiba. Hatiku dag dig dug saat bertemu dengan ayahku pada kunjungan ini. Ada sedikit ketakutan dalam benakku. Pada kado yang kutitipkan, aku menyelipkan sebuah surat cinta untuk ayahku dan sebuah bingkisan istimewa. Aku takut, ayahku tersinggung dengan pemberianku. Aku juga khawatir bahwa caraku, salah.
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Asrama Nurul Ilmi, 24 Desember 2001
Untukmu, Ayah
Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh..
Terima kasih Ayah, untuk semua jasamu, pengorbananmu, dan kasih sayangmu untukku. Aku yakin, aku takkan pernah mampu membalas semua itu. Hanya doa yang tulus, yang mampu kusertakan untukmu, semoga di usia sekarang ini, Ayah semakin dekat dengan Allah. Ada banyak impian yang ingin kusampaikan pada Ayah. Salah satunya, aku tak hanya ingin hidup bersama-sama dengan Ayah di dunia ini. Tapi, aku ingin kita tetap berkumpul bersama hingga di syurga Allah nanti.
Ayah, aku minta maaf jika kado ini tidak berkenan di hati Ayah. Meskipun harganya murah, tapi aku tulus sekali memberikannya buat Ayah. Jangan marah, ya Ayah.. hehhehe.. Aku takut, rahmat Allah tidak sampai padaku jika aku membuat Ayah kecewa.
Barakallahu lakum Ayah atas berkurangnya sisa usia di dunia. Semoga setiap kebaikan selalu menyertai Ayah. Aku bahagia memiliki orangtua sehebat dan seperhatian Ayah. Aku sayang Ayah karena Allah..
Wassalam.
Dari, ananda,
Butet
“Terima kasih, ya Inang, untuk kado dan suratnya, mudah-mudahan sehat dan murah rezeki,” ayahku tersenyum ke arahku saat menjemputku ke asrama.
Dari senyum ayahku, aku tahu hatinya sedang bahagia. Tak ada kesan marah tersimpan di sana, seperti yang aku takutkan kemarin. Ayahku dibesarkan di keluarga yang cukup kuat menjunjung senioritas. Nasihat lebih berhak diberikan oleh yang lebih tua kepada yang lebih muda. Karena itu, aku takut ayahku tersinggung dengan kado pemberianku yang kutitipkan lewat kakakku, dua minggu yang lalu.
Sesampainya di rumah, ternyata keluarga Ayah dari ibukota sedang berkunjung. Aku menyalami pamanku dan istrinya. Di ruang tamu ini, telah tersedia berbagai hidangan berupa makanan dan minuman. Ibuku memang lihai sekali saat memuliakan tamu. Sabar dan telaten. Sungguh, ia adalah ibu yang istimewa. Aku pun mencium pipi kiri dan pipi kanannya sambil memeluk ibuku, erat sekali. Agar rindu ini tumpah ruah dan tak mengganjal lagi di rongga dada.
“Kak, jadi ngasi kado kemarin sama Ayah?” aku berbisik dengan kakakku di ruang kamar.
“Jadi, ayah nangis Dek, baca suratmu,” jawab kakakku.
“Iya, Kak?” aku penasaran.
“Iya, Dek. Nggak liat ya, ada yang berubah dari ayah?” sambung kakakku.
“Apa ya?” aku kembali penasaran.
Suara tertawa terdengar riuh dari ruang tamu saat paman dan istrinya bercerita tentang anak-anaknya yang tidak ikut berkunjung ke rumah kami.
Aku dan kakakku menguping pembicaraan para orang tua tersebut. Berharap bisa tahu, seperti apa kami di mata mereka. Dan seperti apa kami, saat mereka ceritakan ke orang lain.
“Dua minggu yang lalu, aku dapat kado dari Si Butet,” cerita ayahku.
Hatiku kembali dag dig dug. Lagi-lagi, aku khawatir ayahku tersinggung dengan kado yang kuberikan.
“Aku bangga punya anak seperti Si Butet ini. Dia bilang di surat yang ditulisnya untukku, dia sayang samaku, makanya dikasinya kado ini,” jelas ayahku dengan logat Sidimpuannya yang kental.
Dari kamar, aku dan kakakku masih setia “menguping”. Menanti ending dari pengakuan ayahku, seperti menunggu detik-detik terakhir permainan bola kaki yang dimainkan oleh U-13, Indonesia vs Malaysia. Menegangkan sekali.
“Dia ngasi kado ini,” aku tak tahu persis seperti apa ekspresi ayahku saat menunjukkan kado dariku. Dan hari ini, ayahku malah mem-viral-kan pula pada keluarganya.
“Nggak tersinggung dikasi kado itu?” pamanku menimpali.
“Terus terang, aku merasa ditampar saat buka kado ini,” lanjut ayahku.
Suasana batinku semakin kacau.
“Tapi aku bahagia,” ucap ayahku membuatku makin deg-deg-an.
“Anak sekecil itu, nggak sia-sia kusekolahkan di Nurul ‘Ilmi. Sebenarnya dia lancang sekali kasi kado seperti ini. Ini kan namanya, anak menasihati orang tua ini. Tapi itu pulak hebatnya. Sejak sekolah di Nurul Ilmi, Si Butet pun berani mengingatkan aku. Hahhahah,” ayahku masih berkisah. Sesekali ia merasa lucu dengan keberanianku.
Ada rasa takut, malu, sedih, bercampur aduk dalam ruang rasaku. Aku saling memandang dengan kakakku.kami masih mengurung diri di dalam kamar berukuran empat kali tiga meter ini. Tapi wajah kakakku santai saja. Sambil beres-beres kain yang baru disetrikanya, kakakku malah senyum-senyum mendapatiku tegang sendiri.
“Alhamdulillah, dengan tamparan ini, Bang, aku sekarang berubah. Aku sekarang sudah solat lima waktu,” ayahku terharu saat bercerita pada saudaranya.
Aku menangis haru di kamar kakakku. Tak mampu berkata apa-apa. Tak menyangka dengan jawaban ayahku. Maafkan kelancanganku, Ayah. Aku hanya ingin cinta yang bersemi di hatiku untukmu ayah, benar-benar kuingin berseminya hanya karena Allah. Ayahku tidak marah. Namun, hanya merasa tertampar seperti pengakuannya tadi. Tamparan sayang, katanya.
Aku dapati cerita kakakku. Selama dua minggu terakhir ini, ayahku telah menunaikan kewajiban lima waktunya. Hatiku bahagia. Selama ini, solat lima waktu ayahku hanya sebatas “kapan mau” saja. Tapi hari ini, solat lima waktu telah menjadi kebutuhan baginya.
“Masya Allah,” aku memuji asma-Nya. Berharap Ia memberkahi perjuanganku.
Jam berkunjung usai. Kupandangi bungkusan sekantong besar di hadapanku saat baru tiba di asrama Muti’ah, Ruang Muti’ah I. Satu-satu penghuni ruangan ini pun berdatangan. Kurapikan barang bawaanku. Ada kerupuk sambal, karak koling, melingkar pedas, sambal teri nasi, beberapa bungkus roti, dan nasi bungkus buatan ibuku. Nasi ini spesial dimakan bersama-sama dengan kawan-kawan di asrama. Benar-benar bukti cinta yang mendalam dari ibuku.
Terngiang kado yang kuberikan untuk ayahku. Kado itu cukup murah, namun isinya mampu mengubah hidup ayahku. Sebagaimana kata-kata bijak “Kamu tidak bisa mengubah isi Al-Quran, tapi isi Al-Quran bisa mengubah hidupmu”.
“Tet, saya sudah beli kado ini, Tet. Kunjungan depan saya kasi sama ayah saya. Mudah-mudahan ayahku pun bisa berubah. Doakan ya, Tet,” Syahrini bersemangat sekali.
“Bungkus yang rapi. Suratnya, sudah?” impalku.
“Sudah, Tet. Makasi ya udah jadi inspirasi buat saya,” Syahrini mencoel pipiku.
“Halah, biasa aja pun,” aku ke-GeEr-an disanjung oleh Syahrini.
Syahrini menyampul rapi kado untuk ayahnya. Pada lipatan terakhir, ia selipkan selembar surat untuk ayahnya. Ada harapan besar tertulis di sana dan bukti cinta seorang anak perempuan pada lelaki istimewanya, ayahnya. Buku TUNTUNAN SOLAT LENGKAP itu pun telah tersampul sempurna.